PKL Disebut Bisa Dianggap Korupsi karena Gunakan Trotoar: Dampak dari Minimnya Pekerjaan Formal
- Tanpa PKL, angka pengangguran terbuka di Indonesia bisa melonjak lebih tinggi. Dengan kata lain, PKL hadir bukan semata karena “niat melanggar aturan,” melainkan karena kondisi struktural memaksa mereka bertahan di jalanan.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan bahwa penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi tanpa izin bisa masuk kategori korupsi. Pernyataan ini menimbulkan perdebatan, apalagi ketika dikaitkan dengan maraknya pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di trotoar, jalan umum, atau bahkan dekat fasilitas pemerintah.
KPK menjelaskan bahwa ketika fasilitas publik digunakan tanpa aturan dan menimbulkan kerugian negara, ada risiko praktik koruptif. “Penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi adalah bagian dari tindakan yang berpotensi merugikan negara,” demikian penegasan lembaga antirasuah tersebut.
Namun, di balik peringatan itu, muncul pertanyaan penting: benarkah maraknya PKL hanya sekadar soal pelanggaran hukum? Ataukah ada faktor struktural yang membuat masyarakat terpaksa mencari nafkah di jalanan?
- Teh Iin, Sosok di Balik Rumah Teduh yang Menjadi Sandaran Pasien Dhuafa
- Di Balik Kementerian Haji Baru: Mengingat 2 Dosa Korupsi Dana Umat
- Suntikkan Rp300 M, Bos PANI Siap Borong Sahamnya Sendiri
Kenapa PKL Marak di Kota-Kota Besar?
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa menjamurnya PKL bukan sekadar “pelanggar aturan,” melainkan bagian dari fenomena ekonomi yang lebih kompleks. Berbagai riset dan lembaga internasional, seperti World Bank, International Labour Organization (ILO), dan Asian Development Bank (ADB), sudah lama mencatat bahwa sektor informal, termasuk PKL, menjadi tumpuan bagi jutaan pekerja Indonesia.
World Bank mencatat lebih dari 50% tenaga kerja di Indonesia berada di sektor informal. ADB menambahkan, kondisi ini terjadi karena penciptaan lapangan kerja formal masih terbatas, sementara pertumbuhan angkatan kerja terus meningkat. Bagi banyak orang, berdagang di jalan adalah pilihan terakhir agar tetap bisa bertahan hidup.
Dari Krisis Ekonomi ke Jalanan
Sejumlah studi lapangan di Yogyakarta dan kota lain memperlihatkan bahwa banyak pedagang jalanan dulunya adalah pekerja formal yang kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi. Mereka akhirnya beralih ke sektor informal karena tidak ada alternatif lain.
ILO menyebut sektor informal sering kali berfungsi sebagai safety net atau jaring pengaman ekonomi. Tanpa PKL, angka pengangguran terbuka di Indonesia bisa melonjak lebih tinggi. Dengan kata lain, PKL hadir bukan semata karena “niat melanggar aturan,” melainkan karena kondisi struktural memaksa mereka bertahan di jalanan.
Premature Deindustrialization: Akar Masalah di Balik PKL
Para ekonom juga menyoroti tren premature deindustrialization yang dialami Indonesia. Artinya, sektor industri manufaktur padat karya yang dulu mampu menyerap banyak tenaga kerja mulai melemah lebih cepat dari seharusnya.
Analisis ekonomi terbaru menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia semakin bergeser ke sektor berbasis komoditas dan jasa berproduktivitas rendah. Akibatnya, lapangan kerja formal menyempit, dan banyak pekerja yang akhirnya masuk ke sektor informal seperti berdagang kaki lima.
Baca Juga: Merajut Ekonomi Hijau dari Pasar Tradisional di Solo
Antara Hukum dan Realitas Sosial
Secara hukum, benar bahwa penggunaan fasilitas publik tanpa izin bisa bermasalah. Jika ada unsur penyalahgunaan wewenang atau kerugian negara, kasus tersebut bahkan bisa ditarik ke ranah korupsi. Di sisi lain, menyamaratakan semua PKL sebagai pelaku tindak korupsi tentu tidak adil, karena mereka hadir dari keterpaksaan ekonomi.
Di sinilah letak dilema kebijakan publik: bagaimana menjaga tata kota dan fasilitas publik tetap tertib, sekaligus memahami bahwa keberadaan PKL adalah hasil dari minimnya pekerjaan formal dan lemahnya jaring pengaman sosial.
Apa Solusi yang Disarankan Peneliti?
Berbagai lembaga internasional menawarkan pendekatan lebih komprehensif daripada sekadar penertiban. Beberapa di antaranya adalah:
- Formalasi bertahap, misalnya dengan memberikan izin resmi, zonasi khusus, hingga akses ke fasilitas pasar.
- Penciptaan lapangan kerja formal melalui investasi di sektor padat karya dan pelatihan vokasional.
- Perlindungan sosial dan akses modal mikro agar PKL punya peluang naik kelas.
- Manajemen ruang publik yang adil, seperti relokasi ke tempat yang lebih layak tanpa mematikan mata pencaharian mereka.
World Bank, ILO, hingga ADB sepakat bahwa tanpa kebijakan inklusif, penertiban PKL hanya akan memicu masalah sosial baru.
Penjual Pecel Lele Bisa Masuk Tipikor karena Pasal Karet
Ketua KPK periode 2007–2009, Chandra Hamzah, memberikan keterangan di sidang uji materi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi pada 18 Juni 2025.
Dalam sidang perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024, Chandra mengatakan secara teoretis penjual pecel lele di trotoar bisa saja dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Bukan karena ia ingin mempidanakan PKL, melainkan untuk menyoroti ambiguitas rumusan pasal yang menurutnya bisa melanggar asas legalitas hukum pidana.
“Maka penjual pecel lele bisa dikategorikan, diklasifikasikan melakukan tindak pidana korupsi; ada perbuatan memperkaya diri sendiri, ada melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, merugikan keuangan negara,” ujar Chandra dikutip dari laman MK.
- Efek Proyek BYD di Saham SSIA: Picu Kolaborasi Konglomerat Djarum dan Prajogo Pangestu?
- Dilema Saham INCO: Antara Potensi Laba Vs Risiko Regulasi RKAB
- Semarak Amuk Rakyat Menyambut Hari Kemerdekaan
Ia menilai Pasal 2 Ayat (1) sebaiknya dihapuskan karena rumusannya terlalu lentur (karet) dan berpotensi menjerat orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan negara. Sementara Pasal 3, menurut Chandra, perlu direvisi agar lebih tegas. Ia mengusulkan frasa “setiap orang” diganti menjadi “pegawai negeri” atau “penyelenggara negara”, sesuai rekomendasi United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC).
Pernyataan ini semakin menegaskan bahwa diskusi tentang PKL, korupsi, dan penggunaan fasilitas negara bukan sekadar soal praktik di jalanan, tapi juga menyentuh fondasi hukum yang harus jelas, tidak ambigu, dan tidak multitafsir.

Amirudin Zuhri
Editor
