Optimalisasi PBB, Antara Genjot Pembangunan dan Keadilan Sosial
- Bagi banyak daerah, PBB bukan hanya komponen pajak, melainkan fondasi utama dalam mewujudkan kemandirian fiskal dan mempercepat pembangunan wilayah, Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana peran pemerintah saat membagi besaran jumlah nilai pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


Ilustrasi rumah murah bersubsidi dalam program Tapera. / Facebook @ppdpp.pupr
(Istimewa)JAKARTA, TRENASIA.ID - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi salah satu penopang utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) di daerah di Indonesia. Seiring dorongan pemerintah untuk memperkuat kemandirian fiskal, PBB hadir dengan menunjukkan tren kontribusi yang cukup stabil.
Nilai kontribusinya bervariasi di setiap daerah, tetapi dapat signifikan apabila dikelola secara efektif melalui berbagai kebijakan dan inovasi. Dalam Journal of Accounting and Finance Management, kontribusi PBB bersama Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tercatat menjadi penyumbang terbesar PAD Kota Tangerang.
Kondisi ini menunjukkan sektor perpajakan berbasis tanah dan properti memiliki potensi kuat dalam menopang struktur fiskal daerah dengan basis penerimaan yang relatif stabil.
Kepala Bapenda Kota Tangerang Kiki Wibhawa menjelaskan capaian PBB-P2 Kota Tangerang terealisasi sebesar Rp570.577.082.228 atau 105,66% dari target Rp540.000.000.000. Sedangkan untuk BPHTB Rp632.198.760.010 dari target Rp652.000.000 atau 96,96%.
“Kami mengapresiasi wajib pajak yang telah membayarkan pajaknya tepat waktu. Dibanding tahun lalu, ada lampauan yaitu untuk PBB-P2 ada sebesar 5% atau Rp 28 miliar, dan sedangkan untuk BPHTB lampauan sebesar tujuh persen atau Rp 40 miliar," ungkapnya, dikutip dari laman Pemerintah Kota Tangerang, Selasa, 25 November 2025.
PBB Kurangi Ketergantungan
Mahfud MD pernah memberikan pernyataan terkait pajak. Menurutnya, negara bisa hancur jika masyarakat tidak mau membayar pajak. Pernyataan ini dinilai tegas, karena pajak merupakan pendapatan negara yang paling stabil.
Optimalisasi PBB selama ini diketahui krusial bagi daerah untuk mengurangi ketergantungan dari pemerintah pusat. Penguatan PBB memungkinkan pemerintah daerah membiayai kebutuhan mendasar secara mandiri, seperti pembangunan jalan lingkungan, fasilitas publik, penerangan jalan, hingga peningkatan layanan sosial.
Bagi banyak daerah, PBB bukan hanya komponen pajak, melainkan fondasi utama dalam mewujudkan kemandirian fiskal dan mempercepat pembangunan wilayah, Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini adalah bagaimana peran pemerintah saat membagi besaran jumlah nilai pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat.
Belum lama ini muncul kritikan atas penarikan PBB melalui fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penarikan pajak berulang di lahan milik pribadi dinilai perlu dievaluasi. Pakar otonomi daerah, Ryaas Rasyid, juga sempat menyinggung hal ini dalam podcast Abraham Samad Speak Up.
“Masa tanah yang kita tinggali dan bangunan yang kita bangun sendiri kok bayar pajak. Kalau yang bayar pajak itu ya sektor usaha. Sektor apa lah. Jangan rumah yang kita tinggal kita bayar pajak lagi," ujarnya.
Baca Juga: Usulan Penghapusan PBB Perlu Dikaji Komprehensif
Ryaas menilai penarikan PBB bisa sangat merugikan kalangan marginal. "Dia tidak punya pekerjaan yang cukup, penghasilan yang cukup untuk bayar pajak. Masa dia harus jual rumahnya? Itu kan sama dengan mengusir warga negara. Dari hak-hak mereka,” imbuhnya.
Ryaas Rasyid menilai PBB memang menjadi alternatif tercepat untuk meningkatkan PAD bagi para pemerintah daerah. “Mungkin dia sudah berkampanye, sudah berjanji akan membangun. Akibatnya dia mencari jalan pintas. Jalan pintas itu adalah menaikkan PBB, itu yang paling gampang dinaikkan,” ungkapnya.
Ia menegaskan tugas pemerintah pusat adalah mensubsidi daerah-daerah yang kekurangan. Jika pemerintah pusat mendapatkan sumber-sumber keuangan yang besar, dia mendorong subsidikan dana tersebut ke pemerintah daerah untuk menciptakan keseimbangan masyarakat secara merata.

Chrisna Chanis Cara
Editor
