Tren Ekbis

Usulan Penghapusan PBB Perlu Dikaji Komprehensif

  • Pemungutan pajak secara berulang kali atas rumah tinggal atau tanah yang dihuni, dinilai tidak adil dan berpotensi membebani masyarakat yang kondisi finansialnya belum sepenuhnya mampu.
Pajak_PBB_P2.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Bimo WIjayanto, merespons fatwa terbaru dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyoroti isu keadilan dalam sistem Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Fatwa MUI yang dihasilkan dari Musyawarah Nasional (Munas) XI menyatakan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni, dinilai tidak layak dikenai pajak secara berulang.

"PBB sebenarnya undang-undangnya udah diserahkan ke daerah. Jadi, kebijakan tarif, kenaikan dasar, pengenaan, semuanya di daerah," ungkap Bimo pada Senin, 24 November 2025.

Dalam fatwanya, MUI menekankan objek pajak seharusnya hanya dikenakan pada harta yang memiliki potensi untuk diproduktifkan atau barang-barang yang termasuk dalam kategori kebutuhan sekunder dan tersier. Sementara itu, bumi dan bangunan berpenghuni tak layak pakai tidak dikategorikan sebagai kebutuhan yang tidak harus dilaporkan terkait pembayaran pajak berulang.

Ketua Komisi Fatwa MUI KH Asrorun Ni’am Sholeh menyatakan pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang dihuni tidak mencerminkan keadilan pajak. "Serta tujuan pajak," ujarnya, dikutip dari laman resmi MUI, Selasa, 25 November 2025.

Menurutnya, pemungutan pajak secara berulang kali atas rumah tinggal atau tanah yang dihuni, dinilai tidak adil dan berpotensi membebani masyarakat yang kondisi finansialnya belum sepenuhnya mampu. Selain itu, MUI juga merekomendasikan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan pajak progresif dan menyesuaikan tarif pajak berdasarkan kemampuan wajib pajak untuk menjamin asas keadilan.

Bisa Jadi Bumerang Daerah

Sebelumnya mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Indonesia Mahfud MD sempat menyatakan upaya pemerintah, terutama pada keputusan Menteri Keuangan yang tidak ingin membebani masyarakat dengan pajak adalah hal yang patut dipuji.

Berdasarkan postingan pada akun X milik Mahfud MD (@mohmahfudmd) yang diunggah pada Senin, 6 Oktober 2025, ia memberikan cuitan berupa “Salut kepada Menkeu Pak Purbaya. Dia tidak membebani rakyat dengan pungutan pajak-pajak baru,” tulis Mahfud MD.

Dari postingan tersebut, Mahfud memberikan apresiasi kepada Menteri Keuangan yang memikirkan kondisi rakyat. Tujuan ini memiliki kesamaan dengan apa yang disampaikan oleh Asrorun Ni’am Sholeh untuk memberikan keadilan serta kesejahteraan masyarakat melalui pembebasan pajak terhadap bumi dan bangunan tak layak pakai. Menurutnya, hal ini perlu dilakukan atas dasar kepedulian dan keadilan terhadap masyarakat.

Meski demikian, wacana penghapusan PBB bisa menjadi tantangan tersendiri bagi keuangan daerah. Apalagi kini transfer duit pusat ke daerah tengah mengalami efiIensi. 

Pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid, mengatakan sejumlah pemerintah daerah bahkan terpaksa menaikkan pajak PBB-P2 untuk memberikan dana tambahan pengelolaan belanja daerah. Adanya efisiensi dari pemerintah pusat, mengakibatkan kepanikan bagi bupati yang tidak dapat mengoptimalkan cara-cara lain untuk memperoleh pendapatan. 

Ryaas menegaskan pemerintah pusat seharusnya melakukan sosialisasi dan edukasi secara tepat kepada pemerintah daerah. Hal ini berpengaruh terhadap pengembangan dan eksekusi yang diambil oleh pemerintah daerah dalam mengelola APBD di tengah efisiensi.

“Dalam hal ini, pemerintah pusat harus memberikan contoh yang baik dan solutif terhadap kebijakan efisiensi pada beberapa waktu ke depan,” ujarnya dalam podcast Abraham Samad Speak Up beberapa waktu lalu.