Warga Rusun Desak Revisi Tarif PAM Jaya, Kritik Layanan dan Rencana IPO
- Puluhan ribu warga rusun DKI resah tarif air PAM Jaya lebih mahal dari Pondok Indah, kritik layanan buruk hingga wacana IPO yang dinilai keliru.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Sebuah ironi menimpa puluhan ribu penghuni rumah susun (rusun) di DKI Jakarta. Hunian yang mereka beli dengan subsidi justru kini dibebani tarif air bersih lebih mahal dibandingkan kawasan elit Pondok Indah.
Masalah ini berpangkal dari Keputusan Gubernur No. 730/2024 yang menetapkan rusun sebagai pelanggan Kelompok III, setara dengan pusat perbelanjaan, kantor, dan industri. Kebijakan tersebut membuat tarif melonjak tajam dari Rp7.450 menjadi Rp12.500 per meter kubik, bahkan lebih tinggi dari tarif rumah tangga menengah atau apartemen mewah yang hanya Rp17.500.
“Keluhan utamanya adalah ketidakadilan. Kami beli unit dengan subsidi, tapi tarif kami lebih mahal dari rumah mewah. Apa dasar kebijakan ini?” kata Hj. Musdalifah Pangka, Ketua PPPSRS Kalibata City, dalam forum yang diadakan di Kalibata City, Jakarta, Kamis, 4 September 2025.
Beban Finansial di Ambang Batas
Sementara itu, General Manager Apartemen Kalibata City, Martiza Melati, menjelaskan, akumulasi pemakaian otomatis membuat tagihan masuk tarif tertinggi. Masalah ini diperparah oleh sistem meter induk yang digunakan untuk seluruh gedung
“Seharusnya untuk rusun diberlakukan tarif flat. Selama enam bulan, kami masih menalangi dengan tarif lama Rp7.450, tapi kami tidak bisa menanggung selisihnya terus-menerus,” ujarnya.
Dengan tidak adanya subsidi dari pemerintah, beban finansial warga semakin berat. Pihak pengelola sudah mengumumkan tidak lagi mampu menalangi, sehingga tarif baru akan berlaku penuh. Situasi ini menjadi “bom waktu” yang bisa menjerat kondisi sosial-ekonomi penghuni rusun.
Kualitas Layanan dan Pertanyakan Rencana IPO
Di luar persoalan harga, kualitas layanan PAM Jaya juga dipertanyakan. Warga mengeluh pasokan air tidak pernah mencukupi 100% kebutuhan, sehingga harus menggunakan sumur cadangan. “Ini menciptakan beban ganda. Kami sudah membayar tarif tinggi, tapi juga harus membayar pajak air tanah,” keluh Musdalifah.
Bahkan, ketika pasokan air terhenti total, warga terpaksa membeli air tangki dengan harga tinggi. Kondisi ini membuat warga merasa diperlakukan tidak adil oleh BUMD yang seharusnya menyediakan layanan publik.“PDAM berjanji akan mengganti, tapi sampai sekarang tidak pernah dibayar,” tambahnya.
Ketidakpuasan warga semakin memuncak saat muncul wacana IPO (Initial Public Offering) PAM Jaya. Musdalifah melontarkan kritik keras. “Kalau mau IPO, seharusnya pelayanan dasarnya dipenuhi dulu. Namanya Perusahaan Daerah Air Minum, tapi yang kami dapat bukan air minum, melainkan air keruh,” katanya.
Bagi warga, wacana IPO menunjukkan adanya prioritas yang salah arah. Mereka menilai manajemen lebih fokus pada agenda korporasi daripada memperbaiki layanan dasar yang menjadi hak warga.
Upaya Dialog yang Buntu
Di samping itu, Sekretaris Umum DPP P3RSI, Nyoman Sumayasa, menegaskan perjuangan ini melibatkan 42 rusun di DKI Jakarta, bukan hanya Kalibata City. “Kami sudah kirim surat dan mendatangi Balai Kota, tapi tidak ada jawaban. Kami hanya ingin menyampaikan keluhan langsung agar tidak bias,” ujarnya.
Musdalifah menambahkan pengalaman pahit: “Kami pernah menunggu dari pagi sampai sore di Balai Kota, tapi hanya ditemui staf yang tidak bisa memberi solusi. Kami hanya ingin bertemu Pak Gubernur.”
Meski frustrasi, warga tetap menaruh harapan besar agar Gubernur Pramono membuka ruang dialog. Mereka menilai komunikasi yang sehat adalah kunci penyelesaian. “Kami tidak minta lebih. Kami hanya ingin tarif yang adil dan layanan yang layak,” pungkas Musdalifah.
Harapan ini kini mendapat dukungan politik, setelah Anggota DPD DKI Jakarta, Achmad Azran, yang hadir dalam forum tersebut menyatakan siap memfasilitasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) agar keluhan warga bisa disampaikan langsung kepada gubernur. Ia menegaskan bahwa suara penghuni rusun bukan hanya persoalan teknis, melainkan juga representasi politik signifikan yang tidak bisa diabaikan.

Alvin Bagaskara
Editor
