Tren Ekbis

RAPBN 2026 Penuh Pencitraan, Belanja Negara Cenderung Sentralistik

  • Estimasi anggaran mencapai Rp563,6 triliun, dengan alokasi terbesar ke sektor industri pengolahan 25%. Sementara sektor publik seperti pendidikan hanya 0,5% dan kesehatan 5%.
1000621489.jpg
Prabowo Subianto (Prabowo)

JAKARTA, TRENESIA.ID – Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) menilai Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang dibacakan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat, 15 Agustus 2025, belum mencerminkan kondisi riil masyarakat.

FITRA mencatat setidaknya empat masalah utama dari RAPBN 2026. Pertama, proyeksi pertumbuhan ekonomi dinilai sekadar pencitraan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,4% di 2026, padahal rata-rata pertumbuhan tiga tahun sebelum pandemi di 2017-2019 hanya 5,09% dan tiga tahun setelah pandemi tahun 2022-2024 sebesar 5,13%.

Konsumsi rumah tangga pun stagnan di 4,87% dalam tiga tahun terakhir. “Optimisme berlebih ini sulit dicapai di tengah kondisi global yang penuh ketidakpastian dan daya beli masyarakat yang lemah,” ujar Sekjen FITRA Misbah Hasan dilansir Senin, 18 Agustus 2025.

Kedua, reformasi perpajakan belum komprehensif. Pemerintah menargetkan pendapatan negara Rp3.147,7 triliun, dengan 85,5% atau Rp2.692 triliun berasal dari pajak. 

FITRA menyoroti sejumlah persoalan, mulai dari sistem pelayanan perpajakan (Coretax) yang belum stabil, integrasi data penerimaan negara yang lemah, tingginya sengketa pajak akibat kualitas pemeriksaan rendah, hingga fragmentasi pusat dan daerah usai diberlakukannya UU HKPD.

Belanja perpajakan (tax expenditure) juga dinilai tidak transparan. Estimasi anggaran mencapai Rp563,6 triliun, dengan alokasi terbesar ke sektor industri pengolahan 25%. Sementara sektor publik seperti pendidikan hanya 0,5% dan kesehatan 5%.

Ketiga, potensi resentralisasi belanja negara makin terlihat. Dari total belanja RAPBN 2026 sebesar Rp3.876,5 triliun, sebanyak Rp3.136,5 triliun atau 83% dialokasikan ke belanja pemerintah pusat. Adapun transfer ke daerah (TKD) hanya Rp650 triliun atau 17%, turun tajam dibanding Outlook APBN 2025 sebesar Rp864,1 triliun.

“Daerah hanya diberi remah-remah dengan berbagai earmark yang membatasi ruang fiskal mereka,” ujarnya.

Keempat, program direktif Presiden menyedot dana jumbo tanpa kajian memadai. Beberapa di antaranya Ketahanan Pangan Rp164,6 triliun, Ketahanan Energi Rp402,4 triliun, Makan Bergizi Gratis (MBG) Rp335 triliun, Pendidikan Rp757,8 triliun, hingga Kesehatan Rp244 triliun. 

FITRA menilai program bersifat top down, rawan diselewengkan, dan minim partisipasi publik. Studi Transparency International Indonesia (TII) bahkan menemukan potensi korupsi sistemik dalam program MBG.

FITRA menekankan, target pertumbuhan ekonomi harus realistis dan memberi dampak langsung bagi masyarakat. Pemerintah didorong fokus pada peningkatan daya beli, penciptaan lapangan kerja layak, dan pengurangan kesenjangan sosial.

Di sisi perpajakan, perbaikan sistem, tata kelola, dan integrasi pusat-daerah perlu segera dilakukan agar tidak menambah beban rakyat kecil. Sementara resentralisasi fiskal perlu dihindari dengan memperkuat sinergi antara APBN dan APBD.

Terakhir, FITRA menuntut adanya keterbukaan informasi dan sistem pengawasan ketat dari DPR, BPK, serta masyarakat sipil agar program-program Presiden tidak menjadi ajang bancakan anggaran.