AFPI Tegaskan Tidak Pernah Ada Kesepakatan Harga untuk Bunga Pinjol
- Aturan internal berupa Code of Conduct yang sebelumnya dijadikan bukti oleh KPPU telah resmi dicabut sejak 8 November 2023, tepat ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan SEOJK 19-SEOJK.06-2023.

Idham Nur Indrajaya
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) kembali memberikan klarifikasi soal tuduhan adanya kesepakatan harga atau kartel bunga pinjaman online (pinjol) pada 2018 yang dilayangkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Menurut AFPI, tuduhan tersebut tidak berdasar karena sepanjang 2018–2023 tidak pernah ada kesepakatan antar platform terkait batas maksimum manfaat ekonomi atau suku bunga.
AFPI juga menegaskan, aturan internal berupa Code of Conduct yang sebelumnya dijadikan bukti oleh KPPU telah resmi dicabut sejak 8 November 2023, tepat ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan SEOJK 19-SEOJK.06-2023.
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI, Kuseryansyah, menekankan bahwa suku bunga pinjol resmi sejak awal mengikuti arahan OJK demi melindungi konsumen, bukan hasil kesepakatan antar pelaku usaha.
- Ada Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah, Ini 13 Film Indonesia Tayang Bioskop September 2025
- Teh Iin, Sosok di Balik Rumah Teduh yang Menjadi Sandaran Pasien Dhuafa
- Di Balik Kementerian Haji Baru: Mengingat 2 Dosa Korupsi Dana Umat
“Kami ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) antar platform di 2018–2023. Pasca ditetapkannya SEOJK 19-SEOJK.06-2023 yang berlaku di akhir 2023, kami telah mencabut Code of Conduct dan patuh pada regulasi," ujarnya.
"Kembali saya sampaikan bahwa batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) merupakan arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada saat itu untuk melindungi konsumen dari predatory lending dan pinjol ilegal yang memasang bunga sangat tinggi. Hal ini juga sudah kami sampaikan ke KPPU,” ujar Kuseryansyah melalui pernyataan tertulis yang diterima TrenAsia, Selasa, 26 Agustus 2025.
Dengan kata lain, kebijakan bunga pinjaman tidak lahir dari kesepakatan antar platform, melainkan dari regulasi resmi.
Pinjol Ilegal Masih Jadi Ancaman Serius
Tantangan terbesar industri pinjaman daring di Indonesia bukan pada dugaan kartel, melainkan maraknya pinjol ilegal. Studi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang mengutip data OJK menyebutkan bahwa sepanjang 2024 terdapat 3.240 entitas pinjol ilegal. Jumlah ini sekitar 30 kali lipat lebih banyak dibandingkan pinjol resmi yang hanya berjumlah 97 platform.
Masifnya penyebaran pinjol ilegal membuat masyarakat sangat rentan terhadap praktik bunga mencekik dan penagihan tidak manusiawi. Kuseryansyah menegaskan, inilah alasan mengapa platform resmi yang terdaftar dan diawasi OJK harus tetap memiliki mekanisme perlindungan konsumen, termasuk membatasi suku bunga agar tetap terjangkau.
“Masifnya penyebaran pinjol ilegal menuntut pelaku usaha berizin untuk menetapkan mekanisme perlindungan konsumen, salah satunya membatasi suku bunga supaya terjangkau dan tidak membebani,” tambah Kuseryansyah.
Baca Juga:
Perspektif Hukum: Tuduhan KPPU Dinilai Keliru
Diskusi publik soal dugaan kartel pinjol juga melibatkan akademisi hukum. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI), Ditha Wiradiputra, menilai tuduhan KPPU perlu dikaji ulang karena tidak ada indikasi kesepakatan harga yang merugikan konsumen.
Menurut Ditha, tujuan umum perusahaan membuat kesepakatan harga biasanya untuk menaikkan harga sehingga keuntungan lebih besar. Namun dalam kasus pinjaman daring, justru yang terjadi adalah penurunan manfaat ekonomi.
“Salah satu tujuan perusahaan-perusahaan membuat perjanjian penetapan harga adalah agar mereka bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara membuat kesepakatan. Skenario yang mereka lakukan, biasanya semua yang harganya rendah mereka naikkan jadi tinggi. Dalam konteks industri Pindar, manfaat ekonomi malah diturunkan. Jadi, apakah ada keuntungan yang lebih besar diperoleh perusahaan pindar?” jelasnya.
Lebih lanjut, Ditha menambahkan bahwa tuduhan KPPU sebaiknya tidak disebut sebagai kartel.
“Pasal yang dikenakan kepada para platform Pindar adalah Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengenai kesepakatan harga atau price fixing. Di sini terjadi mispersepsi jika kita mengatakan kartel, seolah-olah pelaku melakukan pelanggaran Pasal 11, padahal yang dituduhkan Pasal 5. Undang-undang kita memberikan pengaturan yang berbeda untuk dua pasal tersebut,” jelasnya.
- Efek Proyek BYD di Saham SSIA: Picu Kolaborasi Konglomerat Djarum dan Prajogo Pangestu?
- Dilema Saham INCO: Antara Potensi Laba Vs Risiko Regulasi RKAB
- Semarak Amuk Rakyat Menyambut Hari KemerdekaanApa Artinya Bagi Konsumen?
Bagi masyarakat, klarifikasi ini penting karena menunjukkan bahwa pinjol resmi yang berizin OJK tetap berada dalam koridor hukum. Yang justru menjadi ancaman nyata adalah praktik pinjol ilegal yang jumlahnya jauh lebih banyak, sering kali memasang bunga tinggi, dan menjerat konsumen dengan cara tidak sehat.
Artinya, anak muda yang sering menggunakan layanan pinjaman online perlu lebih cermat dalam memilih platform. Pastikan aplikasi pinjol yang digunakan terdaftar dan diawasi oleh OJK agar terlindungi dari risiko penipuan atau jeratan bunga yang tidak masuk akal.
Kesimpulan
Klarifikasi AFPI bersama pandangan akademisi hukum menunjukkan bahwa tuduhan adanya kartel bunga pinjol belum memiliki dasar kuat. Regulasi suku bunga yang ada selama ini merupakan bagian dari kebijakan OJK untuk melindungi konsumen, bukan hasil kesepakatan antar platform.
Di sisi lain, data OJK dan CELIOS menegaskan bahwa pinjol ilegal masih menjadi masalah serius yang lebih mendesak untuk diberantas.

Idham Nur Indrajaya
Editor
