Tren Global

Inilah Hasil Pertemuan Xi-Trump di Busan, akankah Mengubah Ekonomi Dunia?

  • Xi Jinping dan Donald Trump bertemu di Busan, sepakat turunkan tarif dan jaga pasokan rare earth. Dunia berharap pada era damai ekonomi baru.
xi trump.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Langit Busan nampak cerah diselimuti awan tipis. Di antara hiruk-pikuk wartawan dan penjagaan ketat, dua sosok yang pernah menyalakan bara perang dagang enam tahun silam akhirnya kembali bertatap muka. 

Presiden China, Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dua pemimpin dengan gaya yang kontras, namun sama-sama keras kepala dalam melindungi kepentingan bangsanya, duduk dalam satu meja bundar di sela KTT APEC 2025.

Pertemuan itu, yang berlangsung pada Kamis, 30 Oktober 2025, bukan sekadar agenda diplomasi, pertemuan tersebut menjadi simbol dari upaya dunia mencari keseimbangan baru di tengah ekonomi global yang limbung akibat geopolitik, inflasi tinggi, dan perang pasokan bahan baku strategis.

Menurut laporan Reuters, dikutip Kamis, 30 Oktober 2025, pembicaraan berlangsung selama 1 jam 40 menit lebih singkat dari rencana semula. Di balik durasi yang terbatas itu, momen di Busan menjadi percikan pertama dalam upaya meredakan perang dagang jilid dua yang sejak awal 2025 menekan perekonomian dunia.

Trump, dengan gaya khasnya, menyebut pertemuan tersebut sebagai “amazing meeting” dan memberi penilaian “12 out of 10”. Xi tak banyak berkomentar di depan publik, namun senyumnya yang jarang terlihat dalam forum internasional cukup menjadi sinyal, Beijing siap menurunkan tensi.

"Saya pikir itu pertemuan yang luar biasa," ujar Trump kepada awak media di Air Force One tak lama setelah ia meninggalkan Busan.

Baca juga : Dari Nvidia ke Apple: Ini Daftar Perusahaan Bervaluasi Puluhan Ribu Triliun

Isi Kesepakatan

Dilansir dari The Washington Post, Trump mengumumkan penurunan tarif impor terhadap barang China dari rata-rata 57% menjadi 47%. Langkah ini menjadi sinyal penting bahwa Washington ingin menormalkan arus perdagangan, terutama untuk komponen elektronik, tekstil, dan kendaraan listrik.

Sebagai imbal balik, Xi menyetujui penundaan pembatasan ekspor tanah jarang (rare earth), bahan vital untuk pembuatan baterai, chip, dan senjata presisi. 

China juga sepakat untuk meningkatkan impor kedelai dari AS serta memperkuat kerja sama dalam pemberantasan perdagangan prekursor fentanyl, zat kimia yang memicu krisis narkotika sintetis di Amerika.

"Xi akan bekerja sangat keras untuk menghentikan aliran fentanil, opioid sintetis mematikan yang merupakan penyebab utama kematian akibat overdosis di Amerika," ungkap Trump.

Bagi pasar global, kesepakatan ini ibarat oksigen. Harga logam langka dan chip semikonduktor langsung menguat tipis, menandakan kembalinya kepercayaan pasar setelah berbulan-bulan dilanda ketegangan rantai pasok.

Namun, seperti dicatat The Guardian, tak semua persoalan selesai di Busan. Pembahasan mengenai Taiwan, hak asasi manusia, dan pembatasan ekspor teknologi chip canggih belum menyentuh titik temu.

Bahkan, beberapa ekonom menilai pengurangan tarif menjadi 47% masih sekadar “tarif sementara” yang dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti dinamika politik dalam negeri kedua negara.

Baca juga : Kebijakan The Fed Bikin Saham Big Bank Merekah

Dampak Global

Kesepakatan Busan memberi angin segar bagi ekonomi dunia. Dalam dua tahun terakhir, ketegangan AS-China telah menekan investasi lintas negara dan memperlambat pertumbuhan manufaktur global.

Menurut analisis Reuters, peredaan tensi ini bisa menambah pertumbuhan ekonomi global hingga 0,3 poin persentase pada 2026, jika stabilitas kebijakan dagang dapat dipertahankan.

Negara-negara dengan basis ekspor bahan mentah dan energi seperti Australia, Brasil, dan Indonesia berpotensi menikmati kenaikan permintaan karena rantai pasok global kembali bergerak.

Industri semikonduktor di Korea Selatan dan Taiwan pun mulai menata ulang strategi distribusi untuk menyesuaikan dengan pola dagang baru yang lebih terbuka.

Bagi Asia Tenggara, terutama Indonesia, momen ini bisa menjadi titik balik ekonomi regional. Selama perang dagang berlangsung, banyak investor AS dan Eropa memindahkan pabrik dari China ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Kini, dengan hubungan yang lebih stabil, Indonesia berpeluang besar menarik investasi substitusi di sektor baterai listrik, mineral kritis, dan logistik pelabuhan.

Selain itu, turunnya tarif impor AS terhadap produk China dapat menekan biaya bahan baku elektronik dan baja yang diimpor ke Indonesia. Hal ini memberi ruang bagi industri manufaktur nasional untuk memperkuat daya saing ekspor ke pasar ASEAN dan Eropa.

Bagi dunia, pertemuan di Busan lebih dari sekadar negosiasi dagang. Ia adalah simbol diplomasi pragmatis di tengah rivalitas panjang dua kekuatan besar. Xi dan Trump, meski berbeda cara pandang, sama-sama memahami bahwa perang tanpa batas hanya akan menelan stabilitas global.

Keduanya sepakat untuk melanjutkan pembahasan teknis melalui pertemuan menteri ekonomi dan perdagangan dalam waktu dekat. 

Di luar ruang pertemuan, kamera media menangkap Xi dan Trump berjabat tangan. Bukan genggaman yang lama, tapi cukup kuat untuk menyampaikan pesan, dunia mungkin belum damai sepenuhnya, tapi setidaknya kini sedang berusaha untuk berdamai.