Dilema Bantuan Asing, Keselamatan Warga Mestinya yang Utama
- Pemerintah menolak tawaran bantuan asing untuk banjir Sumatra, mengklaim penanganan masih dalam kapasitas domestik. Sementara PMI dan pemerintah daerah mendesak penerimaan bantuan internasional. Kebijakan ini memicu dilema antara gengsi kedaulatan dan kebutuhan kemanusiaan mendesak.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Bencana banjir yang melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatra telah memasuki fase kritis, menyebabkan ribuan warga terpaksa mengungsi dan mengalami krisis kebutuhan dasar.
Di tengah desakan kondisi kemanusiaan di lokasi bencana, muncul dilema kebijakan yang kontroversial. Banyak warga dan lembaga lokal mulai menyuarakan permohonan agar pemerintah pusat segera menerima bantuan dan dukungan logistik yang ditawarkan oleh negara-negara asing.
Namun hingga saat ini, pemerintah secara resmi belum membuka keran bantuan internasional. Mereka menegaskan penanganan bencana masih dianggap berada dalam kapasitas domestik.
“Bencana ini sekali lagi dia musibah, tapi di sisi lain menguji kita. Alhamdulillah kita kuat, kita mengatasi masalah mengatasi masalah dengan kita sendiri,” ujar Presiden Prabowo Subianto.
Menteri Luar Negeri, Sugiono menyatakan Indonesia belum membuka pintu bagi bantuan asing. “(Masih ditutup) sampai kita merasa kita membutuhkan bantuan,” ungkap Sugiono.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyatakan anggaran bencana tahun ini berkisar Rp500 miliar, jauh dari proyeksi kebutuhan pemulihan bencana dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mencapai Rp51,82 triliun.
Dalam sebuah acara televisi belum lama ini, Pengurus Pusat Palang Merah Indonesia (PMI) Sudirman Said menceritakan kondisi ini mirip dengan penanganan bencana tsunami Aceh tahun 2004.
Saat bertugas dulu, ada seorang Panglima TNI bernama Endriartono Sutarto memutuskan membuka bantuan Aceh, kepada tentara-tentara dari negara asing. “Jadi, waktu itu dikritik oleh DPR, Pak Tarto dikatakan tidak nasionalis, mengapa dalam keadaan tidak kondusif secara keamanan tapi membuka peluang bagi tentara asing,” ungkap Sudirman.
Di momen tersebut, ia menjelaskan sang Jenderal memilih lebih baik disebut tidak nasionalis daripada membiarkan rakyat yang masih hidup akhirnya menjadi korban selanjutnya. Menurutnya, hal tersebut menjadi salah satu positioning referensi bagi kondisi saat ini.
“Kami di Palang Merah kebetulan punya asas-asas dalam bantuan kemanusiaan yaitu mulai dari kemanusiaan, kesukarelaan, kesamaan, kenetralan. Dan paling penting dalam hal ini adalah yang kita bicarakan, kesemestaan. Apa maknanya? Kesemestaan itu artinya bencana kita adalah bencana seluruh dunia,” ungkapnya.
Melalui asas tersebut, PMI mulai membuka dan tidak lagi membatasi bantuan yang akan datang. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa bantuan dari Australia, dari DREF dan lainnya sudah mulai berdatangan dengan sendirinya.
Selain Australia, Malaysia telah berhasil mengirimkan dua juta keping obat, dua ton alat kesehatan, dan tenaga medis sejak 29 November 2025. Sementara, Uni Emirat Arab masih menunggu lampu hijau dari pusat untuk mengirimkan bantuan secara cepat.
Bantuan gelombang kedua dari Malaysia juga sudah mendarat pada Rabu, 10 Desember 2025. Bantuan tersebut berupa obat-obatan, pakaian, cokelat hingga tenaga medis.
"Sudah sampai bantuan dari Kuala Lumpur, yaitu 3 ton untuk kita bagi-bagikan ke beberapa kabupaten/kota bersama dokter dan perawat. Obat-obatan 2 ton, 1 ton coklat dan pakaian untuk anak-anak," kata Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) saat jumpa pers, Rabu, 10 Desember 2025.
- Baca juga: GoTo Tanggung Iuran BPJS untuk Mitra Gojek Berprestasi, Dimulai dari 10.000 Driver di Surabaya
Ia juga menyatakan tidak mempermasalahkan bantuan asing. Menurutnya, baik relawan ataupun bantuan luar negeri yang masuk Aceh dipastikan tidak akan dipersulit, guna keberhasilan proses evakuasi dan keselamatan bagi para korban yang terdampak.

Chrisna Chanis Cara
Editor
