Tren Pasar

Mitos Runtuh: Emas dan Saham Pesta Pora Bareng, Ini Pemicu di Baliknya

  • Di balik reli emas & saham yang bersamaan, ada peran ETF hingga aksi borong bank sentral. Bongkar alasan kenapa emas bukan lagi aset safe haven murni.
Perdaganagn Emas Logam Mulia - Panji 5.jpg
Nampak karyawan menunjukkan logam mulia di sebuah gerai emas di kawasan BSD Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Para penganut investasi konvensional kini dihadapkan pada sebuah anomali yang membingungkan. Aturan main lama yang menyebut emas dan saham bergerak berlawanan arah kini tampaknya telah runtuh. Pada Agustus ini, indeks saham S&P 500 dan emas justru sama-sama mencatatkan rekor harga tertinggi baru.

Pagi ini saja, Selasa, 2 September 2025, harga emas dunia berhasil menembus level tertinggi baru di US$3.508 per troy ons. Menurut Pengamat Pasar Keuangan, Ibrahim Assuaibi, harga emas bahkan berpotensi terus merangkak menuju US$3.600 dalam waktu dekat di tengah memanasnya berbagai tensi geopolitik global.

Fenomena ini tentu memicu pertanyaan besar: kenapa si aman (emas) dan si berisiko (saham) kini justru sedang berpesta bersamaan? Mari kita bedah tuntas lima faktor utama yang menjadi pendorongnya.

1. Bensin Utama Emas: Badai Geopolitik Sempurna

Faktor pendorong utama reli harga emas saat ini adalah memanasnya tensi geopolitik di berbagai belahan dunia. Menurut Ibrahim, eskalasi terbaru datang dari pernyataan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengenai rencana serangan besar ke wilayah Rusia, yang langsung dibalas dengan serangan rudal yang menargetkan kilang minyak dan berdampak pada produksi 1,1 juta barel per hari.

Di Timur Tengah, situasi juga memanas setelah Israel menyerang Yaman dan menewaskan pejabat tinggi Houthi, yang memicu ancaman balasan dari Iran. Tensi ini diperparah oleh ketegangan antara China dan AS, yang membuat investor global ramai-ramai memburu emas.

Kombinasi antara perang di Eropa, konflik di Timur Tengah, dan ketegangan di Asia inilah yang menciptakan ketidakpastian. Kondisi ini menjadi sebab motivasi investor untuk membeli emas sehingga membuatnya lebih berharga dan terus diburu sebagai aset lindung nilai.

2. Vitamin Tambahan: Sinyal Suku Bunga Turun

Uniknya, reli emas kali ini tidak hanya didorong oleh sentimen pesimisme. Ada juga vitamin dari sisi optimisme ekonomi, yaitu ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS, The Fed. Hal ini menciptakan kondisi langka di mana emas dan saham bisa naik bersamaan.

Ibrahim menyoroti bahwa sebanyak 82 persen ekonom kini memprediksi The Fed akan memangkas suku bunga acuannya pada bulan September. Suku bunga yang lebih rendah secara teori akan mendorong investor untuk beralih dari dolar AS ke aset lain yang lebih menarik, termasuk emas.

Kebijakan suku bunga rendah inilah yang juga menjadi pendorong utama bagi pasar saham, termasuk indeks S&P 500. Inilah yang menjelaskan mengapa di tengah ketidakpastian geopolitik, pasar saham AS juga mampu mencatatkan rekor harga tertinggi baru di bulan Agustus.

3. Finansialisasi Emas: Peran ETF yang Mengubah Segalanya

Menurut David McMillan, Profesor Keuangan dari University of Stirling, salah satu penyebab utama perubahan perilaku ini adalah finansialisasi emas. Sejak produk Exchange-Traded Fund (ETF) emas pertama kali diluncurkan pada tahun 2004, emas kini diperlakukan layaknya aset keuangan lain.

ETF emas pada dasarnya memungkinkan investor untuk membeli saham emas, membuatnya lebih likuid dan mudah diakses. Akibatnya, emas kini tidak lagi hanya dipandang sebagai simpanan fisik, tetapi juga sebagai instrumen investasi yang pergerakannya ikut dipengaruhi oleh dinamika pasar keuangan.

Sejak kemunculannya, dana ETF emas telah meningkat drastis, terutama setelah krisis keuangan global. Alhasil, emas kini dapat diperdagangkan seperti aset lainnya dan menjadi andalan dalam sebuah portofolio investasi modern, yang membuat harganya lebih reaktif.

4. Keraguan pada Dolar AS dan Aksi Borong Bank Sentral

Faktor lain yang turut memanaskan harga emas adalah mulai goyahnya status Dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan AS, termasuk intervensi Presiden Trump terhadap pejabat The Fed, membuat banyak negara mulai mencari alternatif.

Keraguan inilah yang mendorong bank-bank sentral di berbagai negara untuk ramai-ramai memborong emas secara masif sebagai aset cadangan alternatif. Aksi borong dari para raksasa inilah yang menciptakan permintaan baru yang sangat besar dan terus menopang harga emas di level tinggi.

Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh pemerintahan Trump justru semakin mengintensifkan seruan untuk mengganti dolar. Hal ini memperkuat peran emas sebagai aset moneter alternatif yang paling kredibel di mata para pengelola cadangan devisa negara di seluruh dunia.

5. Apa Artinya Ini Bagi Investor?

Fenomena ini memberikan pelajaran penting bagi para investor modern. Peran emas sebagai pelindung nilai murni terhadap penurunan harga saham kini telah berakhir. Emas kini telah mapan sebagai salah-tiap aset investasi, sejajar dengan saham, obligasi, dan komoditas lainnya.

Bukan berarti emas kehilangan daya tariknya. Namun, perannya dalam portofolio kini telah bergeser secara fundamental dari sekadar rem menjadi mesin pertumbuhan juga. Artinya, saat ini, peran investasi emas adalah sebagai bagian dari portofolio yang terdiversifikasi.

Ibrahim memprediksi, dengan permintaan yang terus melonjak, harga emas dunia berpotensi mencapai US$3.600 per troy ons dalam waktu dekat. Untuk harga domestik, angkanya bahkan bisa menembus Rp2.150.000 per gram pada akhir tahun ini.