Tren Pasar

Menimbang Kekuatan Saham Konglomerat di Balik Reli IHSG Menuju 9.000

  • Reli IHSG ke 9.000 dipicu euforia saham konglomerat dari Grup Prajogo, Salim, dan Sinarmas. Tapi seberapa kuat fondasi penguatannya?
Aktifitas Bursa Saham - Panji 4.jpg
Pekerja berjalan di depan layar yang menampilkan pergerakan saham di Mail Hall Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta 17 Oktober 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyajikan sebuah paradoks yang tajam di tahun 2025. Di satu sisi, indeks acuan ini terlihat perkasa, berhasil menguat 14,76% sejak awal tahun dan kini kokoh di level 8.124,76. Para analis bahkan optimistis target 9.000 bisa tercapai.

Namun di sisi lain, penguatan ini ternyata ditinggal pergi oleh para investor asing. Data bursa menunjukkan, investor asing justru keluar dengan melakukan aksi jual bersih (net sell) masif mencapai Rp53,96 triliun sepanjang tahun ini, sebuah angka yang sangat signifikan.

Lebih aneh lagi, reli IHSG saat ini ternyata tidak lagi ditopang oleh saham-saham blue chip perbankan. Fenomena IHSG yang naik namun ditopang oleh fondasi yang rapuh ini tentu memicu pertanyaan besar: seberapa sehat reli ini? Mari kita bedah tuntas.

1. Proyeksi Ambisius: Target 9.000 Didorong Sentimen MSCI

Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, melihat peluang IHSG untuk melanjutkan penguatan. Ia bahkan memproyeksikan indeks berpotensi menembus level 8.800 hingga 9.000 di akhir tahun, sebuah target yang sangat optimistis.

Namun, Rully memberikan catatan kaki yang sangat penting. Potensi ini hanya bisa tercapai jika mesin-mesin pendorong yang ada saat ini terus melaju kencang, ditambah dengan sentimen dari rebalancing indeks MSCI yang akan datang pada periode November 2025.

“Kalau saham-saham grup konglomerat terus naik, ditambah juga dengan MSCI, IHSG bisa naik lebih tinggi ke 8.800, bahkan 9.000, namun tetap dengan dasar fundamental,” kata Rully dalam Media Day Mirae Asset pada Kamis, 16 Oktober 2025. 

Sentimen MSCI ini menjadi sorotan karena sejumlah pelaku pasar memprediksi dua saham milik konglomerat yakni  PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) juga berpotensi naik kelas dari MSCI Small Cap Index ke MSCI Global Standard Index.

2. Mesin Baru: Euforia Saham Konglomerat

Setali tiga uang, saham-saham konglomerat kian dijagokan untuk masuk ke indeks global. Bahkan, segelintir saham milik para taipan besar, terutama dari grup Prajogo Pangestu, Sinarmas, hingga Salim, menjadi motor penggerak yang mengerek performa IHSG.

Misalnya, saham PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) milik Prajogo Pangestu memimpin dengan lonjakan 926,32% YTD. Disusul oleh PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) dari Grup Lippo yang terbang 694,59% sejak awal tahun.

Tidak ketinggalan, PT DCI Indonesia Tbk (DCII) milik Toto Sugiri dan Grup Salim juga melesat 550,59% YTD. Saham Prajogo Pangestu lainnya, PT Barito Pacific Tbk (BRPT), juga mencatatkan kenaikan fantastis 327,17% YTD, bersama dengan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA).

3. Mesin Lama yang Ditinggalkan: Bank Lesu, Asing Kabur

Namun, optimisme level indeks menembus 9.000 menjadi anomali karena mesin lama pendorong IHSG, yaitu sektor perbankan, justru sedang melambat. Rully menilai, jika bukan karena lonjakan saham-saham konglomerat, IHSG bahkan diprediksi tidak akan mampu menembus level 8.000.

Hal ini sejalan dengan data aliran dana asing. Sejak awal tahun, investor asing tercatat keluar dengan melakukan aksi jual bersih (net sell) Rp53,96 triliun, yang mayoritas berasal dari penjualan saham-saham bank besar yang kinerjanya sedang lesu.

Hingga hari ini, Jumat, 17 Oktober 2025, saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) tercatat anjlok 30,77% year-to-date. Hal yang sama juga dialami PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang melemah 25,25% dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang terkoreksi 16,63%.

4. Sinyal Peringatan: Valuasi Mahal, Fundamental Stagnan

Di sinilah letak sinyal peringatan yang diungkapkan oleh Rully. Reli yang didorong oleh saham-saham mesin baru ini dinilai tidak sehat karena tidak didukung oleh fundamental yang sepadan. Valuasinya sudah dianggap sangat mahal.

“Saham-saham penggerak valuasinya sudah mahal, dari saham-saham konglomerat Prajogo Pangestu, Sinarmas, hingga Salim. PE [price to earning] ratio sudah ratusan kali. Sementara fundamental stagnan,” ujar Rully.

Berdasarkan data yang dilihat TrenAsia.id, saham-saham konglomerat di atas memang memiliki valuasi ekstrem. Misalnya, saham DCII tercatat memiliki PE Ratio 511.95 dan PBV 174.47. Demikian pula saham CDIA yang baru IPO pada pertengahan tahun ini tercatat memiliki PE Ratio 100.80. 

Dengan demikian, target IHSG menembus level 9.000 secara teknikal terlihat mungkin, risikonya sangat tinggi. Oleh sebab itu, investor perlu sangat berhati-hati karena fondasi yang menopang reli ini dinilai sudah terlalu mahal.