Mengapa Rumor Kencan Idol K-Pop Selalu Menjadi Kontroversi?
- Untuk memahami, kita perlu melihat lebih jauh dari sekadar dinamika antar fandom dan menelaah sistem idol K-pop.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Ketika rumor kencan yang mengaitkan Jungkook BTS dan Winter aespa, dua bintang dengan popularitas tertinggi di kancah K-pop saat ini, mulai beredar di dunia maya, respons yang muncul mengikuti pola yang sudah sangat familiar.
Baik kedua artis maupun agensi mereka tidak mengonfirmasi atau membantah kabar tersebut. Namun, keheningan itu justru tidak meredam perbincangan. Sebaliknya, rumor ini kembali memicu salah satu perdebatan terpanas dalam dunia K-pop, sejauh mana kehidupan pribadi seorang idol sebenarnya menjadi milik para penggemar?
Dalam hitungan hari, komunitas penggemar terbelah seperti yang bisa diprediksi. Sebagian mendesak agar privasi dihormati, sementara yang lain menyatakan kekhawatiran bahwa hubungan tersebut dapat memengaruhi aktivitas grup atau citra publik.
- Baca Juga: Jalan BTS Menuju Comeback Semakin Rumit
Dilansir dari The Korea Times, sebuah kelompok yang lebih kecil tetapi lebih vokal bahkan mengirimkan truk protes ke agensi para artis, mengubah spekulasi menjadi perselisihan publik.
Peristiwa ini mengingatkan pada kejadian tahun lalu, ketika Karina, anggota aespa, dikabarkan memiliki hubungan dengan aktor Lee Jae Wook. Kontroversi tersebut berujung pada Karina yang menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada para penggemar.
Hal ini menarik perhatian internasional, bukan karena hubungan asmara idola itu tidak biasa, tetapi karena harapan akan penyesalan terasa semakin tidak sesuai dengan bagaimana bintang pop diperlakukan di pasar global.
Reaksi seperti itu bukanlah hal baru bagi para pengamat K-pop yang sudah lama mengikuti perkembangannya, tetapi seiring dengan meluasnya audiens genre ini di seluruh dunia, perbedaan pendapat tersebut menjadi lebih terlihat.
Penggemar internasional khususnya semakin lantang mengkritik apa yang mereka anggap sebagai perilaku penggemar yang berlebihan atau toksik, menunjuk pada struktur industri yang telah lama mengaburkan batasan antara dukungan dan hak istimewa.
Bisnis Kedekatan

Untuk memahami mengapa rumor kencan terus memicu reaksi yang begitu kuat, kita perlu melihat lebih jauh dari sekadar dinamika antar fandom dan menelaah bagaimana sistem idol K-pop itu sendiri dirancang.
Berbeda dengan industri pop Barat, K-pop membangun sebagian besar kesuksesannya lewat kedekatan berkelanjutan antara artis dan penggemar, di mana musik hanyalah salah satu unsur dari hubungan tersebut.
Di sini, penggemar didorong untuk berinteraksi setiap hari melalui platform yang dikelola agensi yang dirancang untuk mensimulasikan kedekatan pribadi, sebuah dinamika yang secara bertahap berubah menjadi sumber pendapatan utama.
Beberapa bidang menggambarkan dinamika ini dengan lebih jelas daripada acara penandatanganan penggemar dan platform perpesanan berbasis langganan.
Acara fan signing, yang umum di pasar musik Korea dan Jepang, menawarkan interaksi singkat satu lawan satu melalui sistem undian pembelian album. Penggemar dapat berbicara langsung dengan artis dan menukar hadiah kecil, namun karena kuota terbatas dan peluang masuk bergantung pada jumlah pembelian, pengeluaran besar pun tidak menjamin kesempatan.
Seorang penggemar boy group berusia 20-an bermarga Kim mengatakan bahwa di dalam fandom sudah menjadi “pemahaman umum” bahwa bahkan idol yang baru debut dari agensi besar bisa menuntut penggemar mengeluarkan “ratusan ribu won” hanya untuk berpeluang menghadiri fan signing.
Meski angka resmi jarang dipublikasikan, penggemar lokal memperkirakan untuk masuk ke acara tatap muka artis papan atas, sering kali dengan membeli banyak album, biayanya bisa melampaui 3 juta won (sekitar US$2.052), dan untuk acara di luar negeri jumlahnya bisa lebih besar lagi.
Ekonomi berbasis emosi ini juga merambah kehidupan sehari-hari melalui platform pesan berbayar, yang pada dasarnya merupakan layanan berlangganan yang dirancang untuk mensimulasikan komunikasi pribadi antara idola dan penggemar.
Melalui aplikasi seperti DearU Bubble, Weverse, dan Fromm, penggemar biasanya membayar biaya bulanan per artis untuk menerima pesan, foto, catatan suara, atau unggahan yang disajikan dalam antarmuka percakapan mirip chat pribadi.
Kini menjadi standar di industri, platform-platform ini mengemas rasa kedekatan sebagai produk langganan, sering kali mengaburkan batas antara performa yang dirancang dan interaksi yang terasa personal.
Pengamat industri menilai, seiring waktu, struktur ini membentuk ulang kembali penggemar K-pop memandang peran mereka. Setelah bertahun-tahun membeli album, mempertahankan langganan, dan mendukung setiap perilisan, idol pun bisa terasa bukan lagi sekadar figur hiburan yang jauh, melainkan seperti investasi bersama.
Kritikus musik Lim Hee-yoon mengatakan, salah satu pendorong utama pertumbuhan K-pop adalah kemampuannya mengubah loyalitas dan gairah fandom menjadi arus finansial.
Seiring berkembangnya platform dan meluasnya industri, mekanisme tersebut menjadi semakin canggih dan dikomersialkan. Di sisi lain, para kritikus menegaskan bahwa kedekatan tetap harus memiliki batasan yang jelas.
“Jika artis sendiri memilih untuk tidak mengungkapkan detail pribadi, maka informasi tersebut tidak seharusnya secara aktif dicari atau dikonsumsi,” kata Jang Min-gi, profesor komunikasi media di Universitas Kyungnam.
“Anggapan publik bahwa paparan yang tidak diinginkan adalah sesuatu yang tak terhindarkan, alih-alih sesuatu yang harus dipertanyakan, mungkin juga merupakan bagian dari masalah yang lebih besar,” imbuhnya.
Seiring K-pop terus berkembang melampaui pasar awalnya yang didorong oleh fandom, sistem yang membantu mendorong kebangkitan global genre ini kini sedang diteliti oleh audiens yang mengharapkan artis diperlakukan bukan hanya sebagai properti pribadi, tetapi lebih sebagai individu.
Namun, selama K-pop masih meraup keuntungan dari kedekatan emosional yang dirancang secara cermat, kontroversi seputar hubungan asmara kemungkinan besar tidak akan hilang.
Rumor tentang Jungkook dan Winter pada akhirnya akan mereda. Tetapi sistem yang mampu mengubah spekulasi menjadi gelombang penolakan tampaknya jauh lebih bertahan lama.
Sementara, dilansir dari mk.co.kr, idol berada paling dekat dengan penggemar mereka. Penggemar telah menginvestasikan emosi, waktu, dan uang mereka ke dalam hubungan ini, menganggap diri mereka sebagai teman setia.
Namun, ketika rumor kencan muncul, kepercayaan itu mulai goyah. Pertanyaan, ‘Apakah kita telah disingkirkan?’ secara alami pun muncul. Dalam struktur ini, para idol berada pada posisi yang paling sulit. Secara hukum mereka sudah dewasa, namun ketika menyangkut kehidupan pribadi, seolah-olah mereka tetap membutuhkan izin dari penggemar dan publik.
Di masa lalu, agensi masih berperan sebagai perisai minimal, tetapi peran itu kini semakin sulit dijalankan. Seiring fandom menjadi pemangku kepentingan utama yang memengaruhi penjualan album, tur, dan metrik platform, agensi pun memandang reaksi penggemar sebagai sesuatu yang harus dikelola.
Akibatnya, keputusan perusahaan kini lebih banyak dipengaruhi oleh sentimen publik dibandingkan oleh prinsip.
Inilah juga alasan mengapa kedua agensi kerap memilih diam atau hanya memberi respons pasif. Begitu mereka mengeluarkan pernyataan tegas, mereka harus memperhitungkan pihak mana yang emosinya akan lebih tersulut. Upaya meminimalkan dampak negatif sering kali lebih diutamakan daripada memberikan penjelasan yang bertanggung jawab.
Menurut para pelaku industri, kontroversi seputar hubungan asmara idol sulit dipandang semata-mata sebagai urusan pribadi. Isu-isu tersebut telah terjalin erat dengan struktur industri yang kompleks, yang melibatkan fandom, agensi, dan logika pasar.
Seorang kritikus budaya populer menjelaskan struktur industri idol dan fandom, serta menyoroti alasan mengapa rumor kencan memicu reaksi yang begitu sensitif. Ia menyatakan bahwa perasaan hubungan pseudo-romantic merupakan elemen kunci dalam industri idol. Agensi dan para idol secara aktif memanfaatkannya untuk membangun ikatan dengan penggemar.
Seorang reporter hiburan lain yang dengan berpengalaman lebih dari satu dekade berkomentar, reaksi fandom tidak semata-mata didorong rasa cemburu. Menurutnya, respons tersebut sering berangkat dari anggapan seperti “kamu masih perlu banyak berkembang” atau “seharusnya fokus dulu pada pekerjaan.”
Kontroversi muncul dari benturan antara ekspektasi penggemar bahwa “panggung harus didahulukan daripada asmara” dan kenyataan yang ada.
Alih-alih menuntut larangan berpacaran, muncul seruan agar ada kehati-hatian yang lebih besar dalam cara isu semacam ini disampaikan ke publik, dengan mempertimbangkan hubungan yang telah terbangun selama ini.
Yang jelas, industri K-pop telah berkembang berkat kekuatan fandom, dan pengaruh mereka akan terus meningkat. Namun, kekuatan itu seharusnya tidak menjadi standar untuk mengendalikan kehidupan pribadi para artis.
Siapa yang berhak menilai siapa yang pantas dicintai? Pada akhirnya, ini adalah masalah kehidupan pribadi. Yang dibutuhkan sekarang bukanlah lebih banyak penjelasan atau permintaan maaf yang lebih cepat, tetapi kesepakatan dasar untuk tidak menggunakan kehidupan individu sebagai bahan kontroversi.

Distika Safara Setianda
Editor
