Tren Leisure

Mendorong Konser Intim Kembali Bergeliat Usai Polemik Pestapora

  • Kontroversi Freeport di Pestapora 2025 membuka dilema industri musik. Akankah konser kecil jadi alternatif sehat di tengah dominasi sponsor besar?
jazz-di-atas-awan-e1488524141648-1.jpg
Ilustrasi konser kecil yang intim. (Ilovelife)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Industri konser Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada gelombang festival musik jumbo yang megah. Namun di sisi lain, kemegahan ini ternyata ditopang ketergantungan pada sponsor korporasi raksasa, yang tak jarang membawa rekam jejak kontroversial.

Kasus terbaru yang mengguncang Festival Pestapora 2025 menjadi bukti nyata dari kerapuhan model bisnis ini. Diumumkannya PT Freeport Indonesia sebagai sponsor utama sontak memicu gelombang protes masif, memaksa lebih dari 20 musisi untuk mundur dan EO memutus kontrak secara tiba-tiba.

Fenomena ini tidak hanya membuka borok ketergantungan industri pada 'uang besar', tetapi juga melahirkan kembali sebuah gagasan lama yang lebih intim dan otentik: kembalinya konser-konser kecil. Lantas, sedalam apa dilema yang dihadapi para musisi?

1. Asal-Usul Pestapora: 'Pesta Rakyat' yang Inklusif

Untuk memahami besarnya kontroversi ini, penting untuk melihat identitas Pestapora. Sejak pertama kali digelar pada 2022, festival ini dikenal sebagai "pesta rakyat musik" yang inklusif, merangkul berbagai genre dari pop hingga dangdut, dan menjadi ruang perayaan keberagaman.

Identitas sebagai "pesta rakyat" inilah yang membuat banyak penonton dan musisi merasa memiliki ikatan emosional. Kehadiran sponsor raksasa dengan rekam jejak kontroversial seperti Freeport dinilai bertolak belakang dengan semangat akar rumput dan independensi yang selama ini dibangun.

2. Kontroversi Freeport: Bertolak Belakang dengan Sejarah

Penolakan terhadap Freeport sebagai sponsor muncul dari tiga alasan utama. Pertama, adanya isu lingkungan dan sosial di Papua, di mana aktivitas tambang Freeport selama puluhan tahun dianggap menimbulkan kerusakan ekologis dan konflik dengan masyarakat adat.

Kedua, adanya kontradiksi dengan citra "pesta rakyat". Sponsor raksasa dinilai mencederai semangat independensi festival. Ketiga, adanya resistensi dari para musisi itu sendiri, di mana lebih dari 20 penampil, termasuk Hindia dan .Feast, mundur sebagai bentuk sikap moral.

Yang membuat kontroversi ini semakin tajam adalah sejarah Pestapora sendiri. Pada edisi 2024, Pestapora justru menggandeng Greenpeace, organisasi lingkungan global yang vokal menentang operasi pertambangan. Inkonsistensi inilah yang memicu kemarahan publik dan musisi.

3. Sisi Lain Cerita: Komitmen ESG dari Freeport Indonesia

Kendati demikian, mengacu website resmi Freeport, perusahaan ini telah menunjukkan komitmen mereka terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). Dari sisi lingkungan, perusahaan menargetkan pengurangan emisi karbon hingga 30% pada 2030 dan menjalankan program reklamasi.

Di sisi sosial, mereka menyoroti program kesehatan gratis untuk tujuh suku asli Mimika dan dukungan pendidikan melalui Taruna Papua Boarding School. Perusahaan juga menyatakan mematuhi standar internasional seperti Global Reporting Initiative (GRI).

Meskipun begitu, sejumlah laporan dari lembaga independen menunjukkan bahwa implementasi ESG Freeport di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Kritik ini menegaskan bahwa komitmen perusahaan perlu terus dievaluasi agar selaras dengan realitas di lapangan.

4. Buah Simalakama Para Musisi di Atas Panggung

Bagi musisi, situasi ini adalah 'buah simalakama'. Penyanyi Nadin Amizah secara terbuka mengakui dilema yang ia rasakan. Meskipun penyelenggara telah membatalkan kerja sama, ia akhirnya memilih untuk tetap tampil demi para penggemar yang sudah terlanjur membeli tiket.

Keputusan ini, menurutnya, bukan tanpa pertimbangan berat karena jika ia menolak tampil hanya karena satu sponsor, konsekuensinya akan sangat luas. “Itu berarti aku harus tidak manggung juga di semua acara lain yang berafiliasi dengan merek tertentu. Itu mencakup 80% acara yang masih ada di Indonesia,” ujarnya.

Ia mengaku bahwa semangatnya tetap sama dengan teman-teman musisi yang memilih untuk tidak jadi manggung. Baginya, ini adalah perjuangan bersama untuk menciptakan ekosistem industri musik yang lebih sehat dan tidak bergantung pada korporasi besar.

5. Alternatif yang Lebih Intim: Kembalinya Konser Kecil

Sebagai jalan tengah, Nadin justru mendorong sebuah gagasan yang lebih fundamental. Ia mengajak para promotor untuk kembali menghidupkan ruang-ruang kecil yang lebih independen dan tidak bergantung pada sponsor-sponsor bermasalah di masa depan.

Menurut Nadin, musisi sebenarnya bisa tetap menghidupkan panggung tanpa harus ditopang oleh sponsor raksasa. “Apa yang aku inginkan saat ini...adalah bagaimana kalau kita kembalikan ruang-ruang kecil yang kita miliki sebagai pelaku musik,” ucapnya.

Ia mencontohkan showcase "Malam Mendengar" yang pernah ia gelar pada 2024 sebagai bukti bahwa konser independen bisa berjalan. “Aku tuh masih sering mengadakan showcase dan konser. Aku bisa kok, membuatnya tanpa mereka. Aku yakin kamu juga bisa,” tuturnya.