Menanti Kepastian Peran Ahli Gizi dalam Program MBG
- Dalam upaya percepatan pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG), kebutuhan akan ahli gizi semakin mendesak. Namun, para ahli gizi masih menanti kepastian terkait peran, proses rekrutmen, hingga bagaimana mereka akan dilibatkan dalam ribuan dapur MBG.

Distika Safara Setianda
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Dalam upaya percepatan pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis (MBG), kebutuhan akan tenaga gizi semakin mendesak. Akan tetapi, para ahli gizi masih menanti kepastian terkait peran, proses rekrutmen, hingga bagaimana mereka akan dilibatkan dalam ribuan dapur MBG.
Baru-baru ini Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menjadi sorotan publik setelah pernyataannya tidak membutuhkan ahli gizi dalam MBG. Pernyataannya dianggap menyepelekan profesi tersebut dan memicu reaski publik, termasuk dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi).
“Ketika nanti rapat di DPR, saya ketok (palu) tidak perlu ahli gizi, tidak perlu Persagi, yang diperlukan satu tenaga mengawasi gizi,” kata Cucun dalam forum dengan SPPG di Bandung.
Adapun, pernyataan lain Cucun yang turut memancing kemarahan publik adalah menanggapi keberatan ahli gizi sebagai bentuk ego profesi. “Jangan bicara arogansi dengan saya, semua keputusan Republik ini, saya tinggal pegang palu selesai,” sambungnya.
Ia menyebut posisi ahli gizi bisa digantikan mahasiswa lulusan baru yang dilatih selama tiga bulan oleh Dinas Kesehatan. Ia juga mengatakan, tenaga pengawas gizi tidak harus berasal dari lulusan ilmu gizi yang tersertifikasi. Bahkan ia menyinggung kemungkinan mengubah undang-undang dan menegaskan siswa SMA bisa menjalankan tugas ahli gizi di SPPG.
Tentu, pernyataan tersebut menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan standar profesional dalam pengelolaan gizi anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, jumlah ahli gizi di Indonesia yaitu 34.553. Angka tersebut turun sekitar 5% dibandingkan dari 2023, yang mana jumlah ahli gizi tercatat mencapai 36.400. Saat ini, terdapat sekitar 233 program studi gizi di Indonesia, yang setiap tahunnya menghasilkan sekitar 11.000 hingga 12.000 lulusan.
Sementara, Badan Gizi Nasional (BGN) optimis sekitar 30.000 dapur SPPG dalam Program MBG dapat beroperasi pada Desember 2025. Dengan target pembangunan sekitar 30.000 dapur SPPG, kebutuhan tenaga gizi seharusnya bisa dipenuhi dalam beberapa tahun. Namun, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, di mana proses rekrutmen yang tidak jelas.
Pernyataan Cucun pada dasarnya tidak hanya berisiko menyingkirkan peran ahli gizi, tetapi juga menunjukkan kurangnya apresiasi terhadap para akademisi, teknokrat, dan profesional yang selama ini menjadi pilar penting dalam penyusunan kebijakan publik.
Dilansir dari Antara, padahal, Program MBG yang digagas Presiden Prabowo Subianto merupakan program strategis yang menuntut peran ahli gizi secara menyeluruh, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap evaluasi.
Oleh karena itu, ahli gizi tidak boleh ditempatkan sebagai pelengkap dalam program MBG. Peran mereka merupakan elemen penting yang tidak tergantikan. Tanpa supervise keilmuan dari para ahli gizi, risiko kontaminasi pangan, kesalahan takaran gizi, hingga potensi keracunan akan meningkat.
Melansir dari nurse.org, ahli gizi adalah tenaga kesehatan profesional yang mengedukasi masyarakat untuk memilih asupan yang lebih baik dan menjalani gaya hidup yang lebih sehat.
Ahli gizi membimbing individu maupun kelompok untuk menerapkan pola makan yang sehat guna mencegah penyakit dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan memberikan rekomendasi gizi yang berbasis bukti, para ahli gizi membantu masyarakat menjalani hidup yang lebih sehat melalui edukasi makanan dan perubahan perilaku.
Ahli gizi tidak hanya bekerja di lingkungan perawatan pasien. Seiring tingginya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat, ahli gizi juga dapat bekerja secara individual dengan klien. Misalnya, memberikan strategi diet yang sesuai dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah tertentu seperti diabetes atau gizi geriatri.
Namun, banyak juga ahli gizi yang bekerja di lingkungan komunitas, seperti sekolah atau perusahaan. Dalam peran tersebut, mereka dapat membuat makan sehat atau menetapkan tujuan kesehatan kelompok tertentu.

Distika Safara Setianda
Editor