Sisi Gelap UU 112 Thailand, Catat Sederet Kasus HAM Berat
- Dari Wanchalearm yang hilang hingga Arnon Nampa, Pasal 112 Thailand jadi simbol represi terhadap aktivis pro-demokrasi dan pembela HAM atas dalih penghinaan terhadap Raja

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Undang-undang Lèse-Majesté atau Pasal 112 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Thailand sering menjadi sorotan dunia internasional.
Regulasi yang mengatur hukuman terhadap penghinaan terhadap monarki ini menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi hak asasi manusia, karena dinilai mengekang kebebasan berekspresi dan tidak sejalan dengan standar hukum internasional.
Para ahli HAM PBB menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengkritik pejabat publik, termasuk Raja, serta berhak secara damai mengadvokasi reformasi institusi publik.
Namun, Pasal 112 dinilai tidak konsisten dengan prinsip hak asasi manusia internasional. UU tersebut memiliki karakter hukum yang dinilai keras dan kabur, memberikan ruang interpretasi yang sangat luas kepada aparat penegak hukum dan pengadilan untuk menentukan tindakan apa yang termasuk pelanggaran.
Hukuman bagi pelanggar pun sangat berat, mencapai 15 tahun penjara untuk setiap tuduhan. Akibatnya, banyak pihak menyebut UU ini sebagai alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah dan monarki.
Menurut laporan PBB, penahanan terhadap individu berdasarkan Pasal 112 seringkali bersifat sewenang-wenang dan melanggar prinsip keadilan.
Baca juga : Prabowo: Jangan Khawatir Fluktuasi IHSG, Fundamental Kuat!
Efek “Membungkam” dan Diskriminasi Politik
Laporan Thai Lawyers for Human Rights (TLHR) menyebutkan bahwa kekuasaan monarki tetap menjadi elemen sentral dalam sistem hukum dan politik Thailand, meskipun negara itu telah beralih dari monarki absolut ke monarki konstitusional sejak 1932.
Pasal 112 jarang digunakan sebelum kudeta militer 2006. Namun, penggunaannya meningkat drastis setelah gelombang protes besar-besaran yang dipimpin oleh kelompok pemuda pada tahun 2020.
UU ini kemudian dianggap sebagai instrumen politik untuk menekan aktivis, pembela HAM, jurnalis, serta oposisi yang menuntut reformasi monarki.
Data terbaru dari TLHR mencatat bahwa sejak demonstrasi “Free Youth” pada 18 Juli 2020 hingga 30 Juni 2025, sedikitnya 281 orang telah dituntut dalam 314 kasus terkait Pasal 112.
Dari jumlah itu, 167 kasus di antaranya diawali dari laporan masyarakat pro-monarki kepada polisi. Per 4 Juli 2025, sedikitnya 51 orang masih mendekam di penjara karena alasan politik, dan 32 di antaranya ditahan berdasarkan Pasal 112.
Beberapa kasus menonjol menunjukkan penerapan keras UU 112 di Thailand. Arnon Nampa, seorang pengacara dan pembela HAM, dijatuhi hukuman kumulatif lebih dari 26 tahun penjara karena pidato yang menyerukan reformasi monarki pada 2020.
Kittipong Chuwanphen, warga Bangkok, ditahan karena dua postingan Facebook yang mengkritik royalis dan Raja. Seorang penyanyi restoran bernama “Arm” divonis 1,5 tahun penjara karena video TikTok berdurasi 14 detik yang berbicara santai kepada kucingnya yang dianggap menyindir raja.
“Boom” Jirawat, seorang pedagang online, dihukum 6 tahun penjara karena membagikan tiga postingan dari halaman Facebook Khon Thai UK tanpa menambahkan komentar, postingan tersebut dianggap sebagai kritik terhadap raja.
Worapol Anansak, mantan calon anggota parlemen, dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena mengubah foto profil Facebook-nya pada 2021, foto profil tersebut dianggap menghina raja.
Sementara itu, seorang aktivis bernama “Narint” dibebaskan karena jaksa gagal menghadirkan bukti yang kredibel, setelah sebelumnya dituduh telah menghina raja.
Baca juga : Prabowo: Jangan Khawatir Fluktuasi IHSG, Fundamental Kuat!
Beberapa aktivis Thailand juga diketahui menghilang dalam kasus yang diduga sebagai penghilangan paksa, mencerminkan situasi hak asasi manusia yang memprihatinkan di negara tersebut.
Dua kasus paling terkenal adalah Wanchalearm Satsaksit dan Pholachi “Billy” Rakchongcharoen. Wanchalearm, seorang komedian sekaligus aktivis pro-demokrasi yang vokal mengkritik pemerintah, diculik di depan apartemennya di Phnom Penh, Kamboja, pada Juni 2020.
Hingga kini, keberadaannya tidak diketahui, sementara pihak berwenang Kamboja dan Thailand saling melempar tanggung jawab.
Kasus lainnya adalah Pholachi “Billy” Rakchongcharoen, seorang aktivis hak masyarakat adat suku Karen, yang hilang sejak tahun 2014. Setelah lima tahun, pada 2019, kerangka Billy ditemukan di dalam drum minyak di sebuah waduk, mengonfirmasi kekhawatiran publik tentang nasibnya.
Laporan lembaga HAM menunjukkan bahwa sedikitnya 80 kasus penghilangan paksa terjadi di Thailand dalam tiga dekade terakhir, menyoroti pola kekerasan dan impunitas terhadap para pembela hak asasi manusia di negara tersebut.
Tuntutan Reformasi Hukum
Gelombang kritik terhadap UU 112 terus menguat, baik dari dalam maupun luar negeri. Organisasi internasional menyerukan agar pemerintah Thailand meninjau ulang undang-undang tersebut dan memastikan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi.
Namun, hingga pertengahan 2025, belum ada tanda-tanda reformasi signifikan. Pengadilan Thailand terus menjatuhkan hukuman berat terhadap para terdakwa, sementara ruang kebebasan politik di negeri Gajah Putih semakin menyempit.
Kontroversi Pasal 112 mencerminkan dilema mendalam antara pelestarian simbol monarki dan penegakan prinsip demokrasi di Thailand. Dengan ratusan orang masih menghadapi ancaman pidana karena mengungkapkan pendapat secara damai, UU ini menjadi cermin bagaimana hukum dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaan, bukan semata menegakkan keadilan.

Chrisna Chanis Cara
Editor
