HTMS Chakri Naruebet, Kapal Induk Terkecil di Dunia Milik Thailand
- Kapal induk pertama ASEAN, HTMS Chakri Naruebet, kini lebih dikenal sebagai simbol prestise Thailand daripada kekuatan tempur laut.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Pada akhir dekade 1980-an, Thailand ingin menunjukkan diri sebagai kekuatan maritim baru di Asia Tenggara. Keinginan itu diwujudkan dengan rencana pembangunan kapal induk, sebuah langkah berani yang bahkan tidak dilakukan negara tetangga seperti Indonesia atau Singapura. Hasilnya, lahirnya HTMS Chakri Naruebet, kapal induk pertama dan satu-satunya di kawasan ASEAN.
Kontrak pembangunan ditandatangani pada 27 Maret 1992 dengan galangan kapal Spanyol, Bazan (kini Navantia). Kapal ini dirancang berdasarkan desain kapal induk Spanyol Principe de Asturias.
Proses pembangunannya dimulai pada 1994, diluncurkan pada Januari 1996, dan resmi masuk dinas Angkatan Laut Kerajaan Thailand pada 27 Maret 1997. Biaya pembangunannya diperkirakan mencapai US$285-336 juta jumlah besar untuk Thailand kala itu.
Kapal Induk Terkecil di Dunia
Secara ukuran, Chakri Naruebet jauh dari kesan “raksasa laut” layaknya kapal induk Amerika Serikat. Dengan panjang 182,65 meter dan bobot 11.486 ton, ia tercatat sebagai kapal induk terkecil yang masih beroperasi di dunia.
Ditenagai sistem propulsi CODOG (Combined Diesel or Gas), kapal ini mampu melaju hingga 25,5 knot dengan jangkauan 10.000 mil laut.
Fasilitas utamanya adalah dek penerbangan dengan ski-jump 12° yang dirancang untuk pesawat lepas landas vertikal/pendek (V/STOL). Awalnya, ia bisa membawa hingga 10 pesawat tempur AV-8S Matador, versi ekspor Harrier serta helikopter Sikorsky SH-60 Seahawk.
Namun daya gempurnya terbatas, persenjataan Chakri Naruebet hanya berupa peluncur rudal Mistral, senapan mesin 12,7 mm, dan meriam otomatis 20 mm. Sistem pertahanan modern seperti Phalanx CIWS tak pernah terpasang karena alasan anggaran.
Baca juga : Daftar 10 Barang Mewah Ahmad Sahroni yang Dijarah Massa
Dari Simbol Prestise Menjadi Kapal Patroli
Masa kejayaan kapal ini singkat. Pada tahun 2006, seluruh pesawat Matador dinonaktifkan karena kekurangan suku cadang. Sejak saat itu, Chakri Naruebet hanya mengandalkan helikopter dan praktis berubah fungsi menjadi kapal induk helikopter.
Meski demikian, kapal ini tetap berperan dalam sejumlah operasi kemanusiaan, termasuk saat tsunami Samudra Hindia 2004 serta banjir besar Thailand 2010–2011. Tetapi dalam praktek kesehariannya, kapal ini lebih banyak bersandar di Pangkalan Laut Sattahip karena biaya operasionalnya sangat tinggi. Sekali berlayar bisa menghabiskan 1–2 juta baht (sekitar US$33.000–66.000).
Tak heran jika publik Thailand kerap melabelinya sebagai “Thai-tanic” atau “gajah putih”, istilah lokal untuk sesuatu yang mahal namun kurang bermanfaat. Kritik makin kencang setelah krisis finansial Asia 1997 yang membuat anggaran pertahanan Thailand dipangkas besar-besaran.
Media juga kerap menyoroti penggunaannya sebagai “kapal pesiar kerajaan”, karena lebih sering dipakai untuk perjalanan keluarga kerajaan dibandingkan latihan militer. Bagi banyak pengamat, Chakri Naruebet lebih berfungsi sebagai simbol prestise politik daripada kekuatan tempur nyata.
Meski kerap dikritik, Thailand tidak sepenuhnya meninggalkan kapalnya. Pada 2012, Saab membantu memasang sistem radar dan komando baru agar kapal tetap relevan. Pada 2021, ia ikut serta dalam latihan yang menghubungkan pesawat tempur Gripen dengan kapal perang Thailand lainnya.
Baca juga : Dapur ADMR Goyang: Laba Ambles, Penjualan ke Pihak Ketiga Jadi Biang Kerok
Namun, tanpa pesawat tempur utama, sulit bagi Chakri Naruebet untuk menjalankan peran penuh sebagai kapal induk. Hingga kini, statusnya lebih dekat sebagai kapal patroli besar sekaligus simbol sejarah ambisi maritim Thailand.
Bila dibandingkan dengan kapal induk kelas Nimitz milik Amerika Serikat yang berbobot lebih dari 100.000 ton dan membawa 6.000 awak, Chakri Naruebet jelas tidak sebanding. Tetapi bagi Thailand, kapal ini tetap menjadi kebanggaan, sekaligus pengingat bahwa ambisi besar tanpa dukungan ekonomi berkelanjutan bisa menjelma beban.
Dua dekade lebih setelah diresmikan, HTMS Chakri Naruebet masih bertahan. Bukan lagi sebagai pengguncang lautan, melainkan sebagai “kapal simbol” yang merekam perjalanan Thailand dalam mencari jati diri sebagai kekuatan maritim di Asia Tenggara.

Muhammad Imam Hatami
Editor
