Tren Global

Banjir Mematikan di Asia Bukan Kebetulan, Ini Merupakan Peringatan Iklim

  • Jumlah korban tewas telah mencapai 1.400 jiwa di seluruh Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand , dengan lebih dari 1.000 orang masih hilang akibat banjir dan tanah longsor.
Benjar-Banjir-Sumatra-rfi5to7758pum4984qotqnk7ffcxwnc53ri74rfzpk.png
Banjir bandang di Sumatra akhir November 2025. (YLBHI)

JAKARTA, TRENASIA.ID- Asia Tenggara dilanda banjir yang luar biasa parah tahun ini, akibat badai yang datang terlambat dan hujan yang tak henti-hentinya menimbulkan malapetaka yang membuat banyak tempat lengah.

Jumlah korban tewas telah mencapai 1.400 jiwa di seluruh Indonesia, Sri Lanka, dan Thailand , dengan lebih dari 1.000 orang masih hilang akibat banjir dan tanah longsor. Di Sumatra , seluruh desa masih terputus aksesnya setelah jembatan dan jalan tersapu banjir. 

Ribuan orang di Sri Lanka kekurangan air bersih, sementara Perdana Menteri Thailand mengakui adanya kekurangan dalam respons pemerintahnya.Malaysia masih terguncang akibat salah satu banjir terburuknya, yang menewaskan tiga orang dan membuat ribuan orang mengungsi. Sementara itu, Vietnam dan Filipina menghadapi badai dan banjir dahsyat selama setahun terakhir yang telah menewaskan ratusan orang.

Apa yang terasa belum pernah terjadi sebelumnya adalah persis apa yang diperkirakakn oleh para ilmuwan iklim: Keadaan normal baru berupa badai, banjir, dan kehancuran yang dahsyat.

“Asia Tenggara harus bersiap menghadapi kemungkinan berlanjutnya dan memburuknya cuaca ekstrem pada tahun 2026 dan selama bertahun-tahun setelahnya,” kata Jemilah Mahmood, yang memimpin lembaga pemikir Sunway Centre for Planetary Health di Kuala Lumpur, Malaysia dikutip Associated Press Kamis 4 Desember 2025.

Dampak Penuh Krisis Iklim

Pola iklim tahun lalu membantu menyiapkan panggung bagi cuaca ekstrem tahun 2025. Tingkat karbon dioksida yang memerangkap panas di atmosfer melonjak paling tinggi yang pernah tercatat pada tahun 2024. Hal itu "mempercepat" iklim, kata Organisasi Meteorologi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kondisi  yang mengakibatkan cuaca yang lebih ekstrem.

Baca juga: Deforestasi dan Banjir Besar 2025 di Asia Tenggara

Asia menanggung beban perubahan tersebut, menghangat hampir dua kali lebih cepat daripada rata-rata global. Para ilmuwan sepakat bahwa intensitas dan frekuensi peristiwa cuaca ekstrem semakin meningkat.

Suhu laut yang lebih hangat menyediakan lebih banyak energi untuk badai, membuatnya lebih kuat dan lebih basah. Sementara naiknya permukaan air laut memperkuat gelombang badai, kata Benjamin Horton, seorang profesor ilmu bumi di City University of Hong Kong.

Badai datang satu demi satu di penghujung tahun seiring perubahan iklim memengaruhi arus udara dan laut, termasuk sistem seperti El Nino , yang membuat air laut tetap hangat lebih lama dan memperpanjang musim topan. 

Dengan kelembapan udara yang lebih tinggi dan perubahan pola angin, badai dapat terbentuk dengan cepat. “Meskipun jumlah total badai mungkin tidak meningkat secara drastis, tingkat keparahan dan ketidakpastiannya akan meningkat,” kata Horton.

Pemerintah Tidak Siap

Ketidakpastian, intensitas, dan frekuensi peristiwa cuaca ekstrem baru-baru ini membuat pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara kewalahan. Hal itu dikatakan Aslam Perwaiz dari Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia antarpemerintah yang berbasis di Bangkok. 

Dia mengaitkan hal itu dengan kecenderungan untuk berfokus pada respons bencana daripada persiapan menghadapinya. “Bencana di masa depan akan membuat kita semakin kekurangan waktu untuk bersiap,” Perwaiz memperingatkan.

Di provinsi-provinsi Sri Lanka yang paling terdampak, hanya sedikit yang berubah sejak tsunami Samudra Hindia 2004 , kata Sarala Emmanuel, peneliti hak asasi manusia di Batticaloa. Tsunami tersebut menewaskan 230.000 orang.

"Ketika bencana seperti ini terjadi, masyarakat miskin dan terpinggirkan adalah yang paling terdampak," kata Emmanuel. Termasuk para pekerja perkebunan teh miskin yang tinggal di daerah rawan longsor.

Pembangunan yang tidak diatur dan merusak ekosistem lokal telah memperburuk kerusakan akibat banjir, ujar Sandun Thudugala dari lembaga nirlaba Law and Society Trust yang berbasis di Kolombo. Sri Lanka perlu memikirkan kembali cara membangun dan merencanakannya, ujarnya, dengan mempertimbangkan masa depan di mana cuaca ekstrem menjadi hal yang biasa.

Video-video kayu gelondongan yang tersapu ke hilir di Indonesia menunjukkan bahwa deforestasi mungkin telah memperparah banjir. Menurut Global Forest Watch, sejak tahun 2000, provinsi-provinsi di Indonesia yang terendam banjir, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, telah kehilangan hutan seluas 19.600 kilometer persegi . 

Para pejabat menolak klaim penebangan liar, dan mengatakan kayu itu tampak tua dan mungkin berasal dari pemilik lahan.

Pendanaan Iklim Terbatas

Negara-negara kehilangan miliaran dolar setiap tahunnya karena perubahan iklim. Vietnam memperkirakan kehilangan lebih dari US$3 miliar dalam 11 bulan pertama tahun ini karena banjir, tanah longsor, dan badai.

Data pemerintah Thailand terfragmentasi, tetapi Kementerian Pertanian memperkirakan kerugian pertanian sekitar US$47 juta sejak Agustus. Pusat Penelitian Kasikorn memperkirakan banjir bulan November di Thailand selatan saja menyebabkan kerugian sekitar $781 juta, yang berpotensi memangkas 0,1% PDB.

Indonesia tidak memiliki data kerugian untuk tahun ini tetapi menurut Kementerian Keuangan rata-rata kerugian tahunannya akibat bencana alam adalah US$1,37 miliar.

“Biaya akibat bencana merupakan beban tambahan bagi Sri Lanka, yang menyumbang sebagian kecil emisi karbon global tetapi berada di garis depan dampak iklim, sementara menghabiskan sebagian besar kekayaannya untuk membayar pinjaman luar negeri,”  kata Thudugala.

Pada konferensi iklim global COP30 bulan lalu di Brasil, negara-negara berjanji untuk melipatgandakan pendanaan adaptasi iklim dan menyediakan pembiayaan iklim tahunan sebesar US$1,3 triliun pada tahun 2035. Jumlah tersebut masih jauh dari yang diminta negara-negara berkembang, dan belum jelas apakah dana tersebut akan benar-benar terealisasi.

Asia Tenggara berada di persimpangan jalan menuju aksi iklim, ujar Thomas Houlie dari lembaga sains dan kebijakan, Climate Analytics. Kawasan ini tengah memperluas penggunaan energi terbarukan, tetapi masih bergantung pada bahan bakar fosil. “Apa yang kita saksikan di kawasan ini sungguh dramatis dan sayangnya ini merupakan pengingat nyata akan konsekuensi krisis iklim,” kata Houlie.