Tren Ekbis

Rencana Aturan Baru Kawasan Berikat Ancam PHK Massal dan Industri Domestik

  • Rencana revisi PMK 131/2018 Kawasan Berikat (memangkas penjualan domestik) berpotensi memicu PHK massal. Aturan lama (50% penjualan) telah menyebabkan rembesan impor, menggerus industri lokal dan mengancam stabilitas tenaga kerja domestik.
kaber.jpg
Kawasan Berikat (Pajak.com)

JAKARTA, TRENASIA.ID - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sedang meninjau rencana aturan baru mengenai kawasan berikat. Rencana tersebut digadang-gadang menjadi ancaman yang cukup besar bagi para pengusaha, hingga berdampak serius pada ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sebagai informasi, kawasan berikat merupakan area strategis yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing produknya di kancah pasar global. Melalui fasilitas dan insentif yang ditawarkan, kawasan berikat menjadi salah satu opsi menarik bagi investor yang ingin mengembangkan bisnisnya di Indonesia.

Melansir dari Kemenkeu Learning Centre pada Senin, 15 Desember 2025, kawasan berikat memiliki fungsi tersendiri bagi pengusaha dan negara. Adapun fungsi bagi keduanya adalah:

Bagi pengusaha:

  1. Pengurangan biaya produksi
  2. Akses ke pasar global yang lebih luas
  3. Fasilitas yang lengkap dan modern

Bagi negara:

  1. Peningkatan devisa negara
  2. Penciptaan lapangan kerja
  3. Transfer teknologi

Namun, baru-baru ini rencana pemangkasan kuota penjualan domestik di kawasan berikat menjadi 25% saat pasar ekspor melemah, dinilai berpotensi menekan para pengusaha. Sementara itu, rencana terkait pemberian kuota 100% penjualan ke domestik dengan syarat izin dari Kementerian Perindustrian, dianggap mampu mengancam industri domestik non-kawasan berikat. 

Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2018 tentang Kawasan Berikat memberikan kelonggaran bagi perusahaan di kawasan tersebut untuk menjual produknya ke pasar domestik.

Batasan penjualannya kini mencapai 50% dari tahun sebelumnya, yang dihasilkan dari total ekspor dan penjualan ke kawasan berikat lainnya. Relaksasi aturan ini awalnya diterapkan untuk merespons kondisi pasar ekspor yang melemah, yang mengakibatkan ketidakstabilan pertumbuhan perusahaan dan ancaman PHK.

Sayangnya, tujuh tahun setelah kebijakan ini berlaku, muncul dampak negatif baru yaitu produk impor yang mulai membanjiri pasar domestik, sehingga industri dalam negeri di luar kawasan berikat menghadapi penurunan daya saing. 

Dampak lanjutan dari situasi ini menciptakan ancaman nyata dan serius bagi pengusaha serta mengancam stabilitas ketenagakerjaan secara luas.

Ancaman Nyata bagi Dunia Usaha dan Tenaga Kerja

1. Penurunan Daya Saing dan Penutupan Industri Domestik

Industri domestik yang memproduksi barang sejenis harus bersaing langsung dengan produk impor yang masuk melalui skema rembesan. Hal ini terjadi karena barang dari kawasan berikat seringkali mendapatkan fasilitas bea masuk dan pajak yang berbeda, sehingga produk tersebut bisa dijual dengan harga yang lebih kompetitif di pasar lokal. 

Persaingan harga yang tidak seimbang ini akhirnya membuat produk domestik kesulitan bersaing, mengurangi volume penjualan, dan memaksa beberapa pabrik atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) lokal gulung tikar.

2. Masalah Ketenagakerjaan (PHK Massal)

Ketika industri domestik mengalami penurunan produksi atau bahkan harus tutup karena tergerus persaingan impor, dampaknya langsung terasa pada tenaga kerja. Perusahaan terpaksa melakukan PHK massal untuk menekan biaya operasional.

Hal ini tidak hanya meningkatkan angka pengangguran, tetapi juga menciptakan ketidakstabilan sosial ekonomi di daerah-daerah sentra industri, karena ribuan pekerja kehilangan sumber mata pencaharian utama mereka.

3. Hambatan Investasi di Sektor Manufaktur

Situasi ini mengirimkan sinyal negatif kepada calon investor di sektor manufaktur domestik. Investor akan berpikir ulang untuk menanamkan modal di Indonesia jika lingkungan persaingan dinilai tidak sehat dan rentan terhadap produk yang masuk melalui "pintu belakang."

Jika investasi terhambat, penciptaan lapangan kerja baru akan terhenti, sementara PHK di sektor lama terus akan berlanjut, dan menngerus ketenagakerjaan di Indonesia.