Pengamat: Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Tak Manusiawi
- Rencana pemerintah mengecilkan luas minimum rumah subsidi menjadi hanya 18 meter persegi menuai sorotan publik. Kebijakan ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip hunian layak dan berpotensi mengorbankan kenyamanan hidup masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk generasi muda.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA - Rencana pemerintah mengecilkan luas minimum rumah subsidi menjadi hanya 18 meter persegi menuai sorotan publik. Kebijakan ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip hunian layak dan berpotensi mengorbankan kenyamanan hidup masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), termasuk generasi muda.
Pengamat perumahan sekaligus konsultan properti, Anton Sitorus menilai tipe bangunan 21 meter persegi sudah sangat umum dan minimal, itu pun dengan luas tanah 60 meter persegi. Dia menilai wacana pemerintah mengecilkan ukuran rumah menjadi 18 menter persegi tidak manusiawi.
"Tipe 21/60 m2 itu standar Perumnas dari tahun 80-an dan itu sudah paling minim. Lebih kecil dari itu sudah tidak manusiawi," katanya kepada TrenAsia.com pada Senin, 2 Juni 2025.
- Cara Dapat Diskon Tarif Listrik Mulai 5 Juni 2025, Ini Rinciannya
- Saham Bank Merah, LQ45 Hari Ini Turun ke 795,95
- Terperosok 1,54 Persen, IHSG Ditutup di 7.065,07
- Berpulang, Inilah Profil Legenda Bulu Tangkis Tan Joe Hok
Anton menantang pemerintah untuk mencoba tinggal di rumah tapak ukuran 18 meter persegi tersebut sebelum mengaplikasikannya ke masyarakat. “Luas hunian jadi faktor dominan masyarakat dalam memilih hunian, selain lokasi dan harga, ” ujarnya.
Ketua Umum Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas Jaya) Andriliwan Muhamad mengatakan penurunan luas rumah tersebut dirasa kurang layak ditempati, terutama untuk keluarga beranggotakan empat orang atau lebih.
Apalagi jika sang pemilik rumah berada di wilayah pedesaan yang memiliki banyak kerabat. Rumah tipe ini, menurutnya, hanya diperuntukkan untuk kaum milenial atau Gen Z yang belum berkeluarga, tinggal sementara di perkotaan besar.
Selain itu, rumah ukuran 18 meter persegi ini tidak bisa diterapkan untuk seluruh daerah. Kawasan yang cocok adalah daerah kota-kota besar saja. “Namun tetap akan terasa berat jika rumah dengan tipe 18 ini tak disediakan fasilitas yang memadai, di antaranya akses transportasi yang baik. Bahkan masyarakat bisa memilih rumah di pinggiran kota dengan akses transportasi publik yang terintegrasi.”
Meskipun ada konsep rumah bertumbuh, Andriliwan menilai masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tidak leluasa memperluas atau meningkat bangunan karena mahalnya biaya konstruksi. "Ketika developernya bikin rumah tumbuh, maka biayanya akan lebih tinggi. Pembeli akan berpikir dua kali untuk membeli rumah tersebut," ujarnya.
Dampak lainnya apabila ada rumah subsidi terlalu kecil adalah akan muncul rumah-rumah kumuh. “Pemerintah sebaiknya menggodok aturan sebelum melakukan jual beli rumah tipe 18 m² agar tidak dimanfaatkan spekulan. Rumah ini harus bersifat satu kali milik, tidak diperjualbelikan, khusus untuk pemilik pertama.”
Andriliwan mengkhawatirkan program tersebut justru memperburuk backlog jika rumah diborong investor dan tak tepat sasaran. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) BPS 2024, backlog perumahan di Indonesia yang cukup tinggi.
Backlog perumahan di Indonesia berkisar di 9,9 juta unit pada tahun 2023. Meskipun terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, angka 9,9 juta unit masih menunjukkan kebutuhan perumahan yang sangat besar dan mendesak.

Chrisna Chanis Cara
Editor
