Mungkinkah Terwujud? Mengupas Rencana Mega Proyek Kereta Api di Kalimantan
- Rencana pembangunan kereta api di Kalimantan kembali mengemuka. Sejak kapan ide ini muncul, berapa biayanya, dan apa peluang proyek ini terwujud?

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Berpuluh tahun lamanya, gagasan membangun jaringan kereta api di Kalimantan hanya terdengar sebagai wacana ambisius. Namun memasuki era pergantian pemerintahan dan seiring pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) serta dorongan infrastruktur nasional yang semakin besar, mimpi itu kembali mengemuka bahkan semakin terasa nyata.
Pertanyaannya, sejak kapan ide ini muncul, berapa biaya yang dibutuhkan, dan apa peluang rencana besar ini benar-benar terwujud?
Gagasan pembangunan rel kereta api di kalimantan mencuat kembali setelah Presiden Prabowo Subianto mendukung pembangunan sektor Perkereta Apian di berbagai pulau salah satunya Kalimantan.
“Kereta api kita akan kita perbesar di Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi. Karena dengan kereta api, biaya logistik akan turun, biaya ekonomi akan turun," ujar Presiden Prabowo, didepan awak media kala memberikan keterangan pers usai meninjau KRL di Jakarta, dikutip Jumat, 7 Juli 2025.
Prabowo menilai pembangunan jaringan rel kereta api sangat penting untuk mendukung kemajuan ekonomi daerah lewat kemudahan akses transportasi dan logistik.
"Kita akan kompetitif, dan kesejahteraan rakyat akan meningkat. Jadi nanti saya kasih petunjuk ke Menko Infrastruktur, rencanakan yang baik. Trans-Sumatra railway, Trans-Kalimantan railway, Trans-Sulawesi railway,” tambah Presiden Prabowo.
Baca juga : Paradoks Efek MSCI: BREN dan BRMS Resmi Masuk Indeks, Harga Saham Justru Terkoreksi

Ide Lama
Tidak banyak yang mengetahui bahwa Kalimantan sebenarnya pernah memiliki jalur rel pada masa kolonial. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, sejumlah rel kecil dibangun untuk menunjang aktivitas industri, terutama pertambangan dan kilang, seperti di kawasan Balikpapan.
Namun setelah Perang Dunia II, perubahan geopolitik, dan modernisasi transportasi, hampir seluruh jalur tersebut hilang fungsi dan jejaknya pun lenyap. Kalimantan kemudian tumbuh tanpa moda kereta api umum seperti yang berkembang di Jawa dan Sumatra.
Memasuki awal 2000-an, pemerintah Indonesia mulai memasukkan pengembangan jaringan kereta di luar Jawa ke dalam masterplan perkeretaapian nasional. Gagasan tersebut kemudian semakin matang melalui Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) yang disusun Kementerian Perhubungan.
Momentum terbesar hadir pada periode 2011-2017 ketika pemerintah mulai memasukkan rencana pembangunan rel Kalimantan dalam kajian pembiayaan APBN. Pada tahun 2017, Kementerian Perhubungan bahkan merilis rancangan jaringan sepanjang 2.428 km sebagai salah satu skenario besar konektivitas Trans-Kalimantan.
Pemindahan ibu kota negara ke Nusantara menjadi titik balik penting bagi rencana ini. Memasuki era 2020-an, pembangunan kereta api di Kalimantan tidak lagi dianggap sebagai proyek sekadar pemerataan pembangunan, melainkan kebutuhan strategis untuk menghubungkan IKN, pelabuhan, kawasan industri, dan sentra ekonomi.
Dalam dua tahun terakhir, muncul pula gagasan Trans-Borneo Railway, yakni jaringan ambisius yang menghubungkan Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Pemerintah pusat kembali menegaskan komitmennya mengembangkan jaringan rel di Kalimantan sebagai bagian dari prioritas infrastruktur nasional jangka panjang.
Baca juga : Isu Deforestasi Gorontalo dan Peran SVLK: Bagaimana Indonesia Menjaga Hutan Tetap Lestari
Berapa Biayanya?
Meski belum memasuki tahap konstruksi, sejumlah kemajuan mulai terlihat. Beberapa segmen jaringan telah diusulkan masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), terutama koridor yang terhubung langsung dengan IKN. Studi teknis dan Detail Engineering Design (DED) telah dimulai pada sejumlah lintasan.
Sementara alokasi anggaran kajian juga telah muncul sejak pertengahan 2010-an dan kini bergerak menuju tahap penyusunan tender awal. Menariknya, Kalimantan sebenarnya sudah memiliki berbagai jalur rel, namun sebagian besar merupakan rel industri pertambangan milik swasta. Tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana menyatukan rel-rel industri tersebut menjadi sistem transportasi publik yang terpadu.
Perkiraan biaya pembangunan jaringan kereta di Kalimantan sangat beragam, tergantung skala proyek dan standar rel yang direncanakan. Untuk skenario paling ambisius, terdapat angka yang sempat muncul untuk kebutuhan dana hingga US$70 miliar atau sekitar Rp1.114 triliun.
Angka ini merujuk pada konsep besar Trans-Borneo Railway yang mencakup jalur Indonesia–Malaysia–Brunei dan opsi kereta cepat yang menghubungkan langsung ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Jumlah tersebut sifatnya masih berupa angka proposal investor dan bukan hitungan final pemerintah.
Sementara itu, rencana yang pernah dirilis Kementerian Perhubungan pada 2017 menargetkan pembangunan jaringan kereta di Kalimantan sepanjang 2.428 kilometer. Pembangunan jaringan tersebut diperkirakan akan menelan biaya puluhan triliun rupiah jika menggunakan standar jalur konvensional. Angka ini mengacu pada paparan Kemenhub mengenai Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) untuk wilayah Kalimantan.
Selain itu, terdapat hasil studi kaijian pemerintah tahun 2015-2016 mengenai pengembangan rel di luar Pulau Jawa, termasuk Kalimantan dan Sulawesi. Studi tersebut memproyeksikan kebutuhan biaya sekitar Rp54,15 triliun untuk skenario pengembangan jaringan di kedua wilayah.
Di sisi lain, PT Industri Kereta Api (INKA) juga pernah menyampaikan perkiraan biaya untuk pembangunan jaringan kereta tertentu di Kalimantan Timur. Estimasi yang dirilis mencapai Rp88,51 triliun, mencakup biaya konstruksi jalur, desain, proses perizinan, serta penyediaan sarana seperti rangkaian kereta.
Informasi ini disampaikan melalui publikasi resmi di situs inka.co.id dan menjadi salah satu referensi konkret dari BUMN terkait gambaran biaya proyek rel di Kalimantan dengan skala regional.
Perbedaan angka ini sangat dipengaruhi pilihan desain, mulai dari jalur tunggal atau ganda, elektrifikasi, jembatan panjang, hingga opsi jalur layang yang dapat membuat biaya per kilometer melonjak drastis.
Pembangunan kereta api di Kalimantan bukan sekadar proyek transportasi, melainkan transformasi ekonomi dan sosial. Secara konsep, proyek ini sangat mungkin direalisasikan, namun membutuhkan pendekatan bertahap dalam jangka panjang dengan memulai dari koridor yang paling ekonomis dan strategis, misalnya jalur pendukung IKN dan kawasan industri atau pelabuhan utama.
Mimpi yang muncul sejak era kolonial ini kini kembali dihidupkan dengan konteks baru. Pertanyaannya bukan lagi apakah Kalimantan memerlukan kereta, melainkan kapan dan bagaimana tahap pertama akan dimulai, serta seberapa konsisten komitmen negara untuk menempuh proses panjang menuju terwujudnya visi besar ini.

Muhammad Imam Hatami
Editor
