Isu Deforestasi Gorontalo dan Peran SVLK: Bagaimana Indonesia Menjaga Hutan Tetap Lestari
- Isu deforestasi Gorontalo kembali menjadi perbincangan seiring meningkatnya produksi wood pellet dari wilayah tersebut. Namun pemerintah dan pelaku industri biomassa menegaskan bahwa produksi tersebut berasal dari hutan tanaman industri yang legal dan berkelanjutan melalui penerapan SVLK.

Ananda Astri Dianka
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Isu deforestasi Gorontalo kembali mencuat seiring meningkatnya produksi wood pellet dari wilayah tersebut. Beberapa pihak mempertanyakan apakah lonjakan ini dibarengi dengan pembukaan hutan alam secara masif. Namun, pemerintah bersama asosiasi industri biomassa menyampaikan klarifikasi bahwa produksi tersebut berasal dari sumber yang legal dan lestari, bukan hasil deforestasi.
Pemerintah Indonesia sejak lama telah menerapkan sistem tata kelola kehutanan yang disebut SVLK atau Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Melalui sistem ini, seluruh aktivitas pemanfaatan hutan, mulai dari penebangan, pengangkutan, pengolahan, hingga ekspor, harus memenuhi persyaratan legalitas dan keberlanjutan yang ketat. SVLK juga mewajibkan pelaku usaha untuk menanam kembali pohon di area yang ditebang, khususnya pada kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan, Erwan Sudaryanto, menegaskan bahwa SVLK menjadi instrumen utama untuk menjamin semua produk hasil hutan berasal dari sumber yang sah.
“SVLK memastikan semua hasil hutan diambil, diangkut, diproduksi, dan diperdagangkan dari sumber yang legal dan berkelanjutan sesuai hukum Indonesia. Sistem ini memiliki dasar hukum yang kuat, lembaga penilai independen, dan mekanisme check and balance,” ujarnya dalam forum FGD yang diselenggarakan APREBI di Jakarta, Rabu (5/11).
Sementara itu, Ketua Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Milton Pakpahan, menjelaskan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 10 juta hektare lahan potensial untuk pengembangan HTI dan hutan tanaman energi. “Gorontalo telah membuktikan bahwa pengelolaan hutan secara legal bisa menjadi sumber energi hijau tanpa merusak lingkungan,” ujarnya.
Data terbaru dari Kementerian Kehutanan mencatat produksi wood pellet nasional tahun 2024 mencapai 333.971 meter kubik, tiga kali lipat dibandingkan tahun 2020. Provinsi Gorontalo menjadi kontributor terbesar dengan pangsa pasar 29,96 persen.
Sekretaris Jenderal APREBI, Dikki Akhmar, menegaskan bahwa seluruh produksi tersebut berasal dari hutan tanaman industri. “Semua perusahaan wood pellet telah berkomitmen menjaga keberlanjutan produksi dengan menyiapkan hutan tanaman industri, tidak bergantung pada deforestasi,” tegasnya.
Pemerintah juga mengajak semua pihak untuk memahami definisi deforestasi secara tepat. Dalam konteks kehutanan Indonesia, deforestasi berarti mengubah hutan menjadi non-hutan secara permanen. Namun dalam HTI, pohon memang ditebang, tapi lahan tetap ditanami kembali sesuai rencana yang disetujui. Artinya, kegiatan di HTI tidak termasuk deforestasi.
Melalui SVLK, Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang memiliki sistem verifikasi legalitas kehutanan terintegrasi yang diakui secara global. Produk wood pellet yang telah tersertifikasi pun telah diterima oleh pasar internasional seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa.
Dengan fakta ini, isu deforestasi Gorontalo semestinya dipahami sebagai tantangan komunikasi dan edukasi publik. Di balik produksi yang meningkat, justru ada sistem hukum dan tata kelola yang diperkuat, bukan pelanggaran terhadap hutan. Dalam situasi krisis iklim global, praktik seperti di Gorontalo bisa menjadi contoh bahwa pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan bisa berjalan beriringan.

Ananda Astri Dianka
Editor
