Burden Sharing, Strategi Patungan Pembiayaan Program Prabowo
- Skema burden sharing antara BI dan pemerintah mengurangi beban bunga utang sekaligus memastikan koperasi dan sektor rakyat mendapat akses pendanaan murah. Apa itu burden sharing, berikut penjelasannya

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI). Salah satunya lewat skema burden sharing atau berbagi beban pembiayaan, yang kini tengah diarahkan untuk mendukung akses pendanaan murah bagi Koperasi Merah Putih.
"Untuk Koperasi Merah Putih itu dananya menjadi murah kepada koperasi, ini karena kami dengan BI melakukan semacam burden sharing," ungkap Sri Mulyani dalam rapat bersama Komite IV DPD RI, dikutip Rabu, 3 September 2025
Bagi sebagian orang, istilah “burden sharing” terdengar teknis dan rumit. Namun, pada praktiknya, skema ini berfungsi sederhana, pemerintah dan BI patungan menanggung biaya bunga utang negara, terutama untuk program prioritas seperti kesehatan, perlindungan sosial, hingga perumahan rakyat.
Secara sederhana, burden sharing adalah kerja sama antara otoritas fiskal, yakni pemerintah, dan otoritas moneter, yakni bank sentral. Skema ini memungkinkan BI membeli surat utang negara (SBN) dengan bunga lebih rendah, bahkan sebagian bunga ditanggung bank sentral. Tujuannya adalah meringankan beban APBN, membuka akses pendanaan murah, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi di tengah tekanan global.
Pengalaman Indonesia
Indonesia bukan pendatang baru dalam urusan burden sharing. Skema ini pertama kali ramai dibicarakan saat pandemi COVID-19 pada 2020–2022. Kala itu, pemerintah membutuhkan dana besar untuk vaksinasi, bantuan sosial, hingga pemulihan UMKM.
Untuk program kesehatan, BI menanggung penuh bunga SBN, sementara untuk pembiayaan perlindungan sosial dan UMKM, bunga ditanggung bersama antara pemerintah dan bank sentral.
Hasilnya cukup signifikan, menurut catatan Kementerian Keuangan, skema ini menghemat beban bunga utang pemerintah hingga 0,25 persen dari PDB pada periode 2021–2022.
Kini, pada 2025, mekanisme serupa kembali digunakan. Pemerintah dan BI sepakat berbagi bunga 50:50 untuk mendanai Koperasi Merah Putih serta program perumahan rakyat.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengandalkan burden sharing. Banyak negara berkembang seperti India, Filipina, dan Afrika Selatan menggunakan pola serupa saat pandemi.
Sementara di negara maju, mekanismenya lebih dikenal dengan istilah quantitative easing (QE), di mana bank sentral membeli obligasi pemerintah dalam jumlah besar. Meski berbeda nama dan bentuk, esensinya sama, yakni bank sentral ikut menopang beban fiskal negara dalam kondisi krisis.
Manfaat dan Kontroversi
Seperti dua sisi mata uang, burden sharing membawa manfaat sekaligus risiko. Dari sisi manfaat, biaya utang menjadi lebih murah, koordinasi fiskal dan moneter berjalan lebih erat, dan stabilitas ekonomi dapat terjaga di masa krisis.
Namun dari sisi risiko, kebijakan ini bisa memicu inflasi, melemahkan nilai tukar, serta menimbulkan kekhawatiran soal independensi bank sentral jika diterapkan terlalu lama.
Beberapa ekonom bahkan mengingatkan bahwa burden sharing sebaiknya hanya digunakan saat darurat, karena ketergantungan berlebihan justru dapat menimbulkan distorsi di pasar keuangan.
Sejarah membuktikan bahwa kolaborasi fiskal dan moneter semacam ini mampu menahan gejolak ekonomi, mulai dari pandemi hingga ancaman resesi global. Tantangannya kini adalah memastikan burden sharing benar-benar menjadi penyangga sementara, bukan tongkat penopang jangka panjang.

Muhammad Imam Hatami
Editor
