Harga Mahal Ekologis dari Ekspansi 600 Ribu Hektare Sawit
- Ambisi pemerintah mengejar target biodiesel B50 menuntut ekspansi lahan sawit hingga 1 juta hektare, mengancam stabilitas ekosistem Sumatra. Kajian ilmiah menunjukkan perkebunan sawit gagal menggantikan fungsi hidrologi hutan alam dalam mencegah banjir.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto tengah memacu ambisi kemandirian energi melalui program Biodiesel, yang menargetkan peningkatan dari B40 menuju B50. Namun, target ambisius ini memunculkan dilema besar terkait kebutuhan lahan yang masif dan risiko bencana ekologis yang mengintai.
Kajian menunjukkan bahwa untuk memenuhi pasokan CPO bagi target B50, Indonesia membutuhkan ekstensifikasi lahan baru antara 600.000 hingga 1 juta hektare. Produktivitas lahan eksisting dinilai belum mencukupi untuk menopang kebutuhan pangan dan energi secara bersamaan.
Ekspansi ini terjadi di tengah kekosongan payung hukum perlindungan hutan alam. Inpres Moratorium Sawit (No. 8/2018) telah berakhir pada September 2021 dan tidak diperpanjang, membuka celah lebar bagi pelepasan kawasan hutan atas nama "Ketahanan Energi".
1. Mitos Sawit Menggantikan Hutan
Secara ekologis, alih fungsi hutan alam menjadi perkebunan sawit tidak dapat disetarakan dengan sekadar menjaga tutupan pohon. Kajian ilmiah menegaskan bahwa kebun sawit gagal menggantikan fungsi hidrologi hutan.
Dalam ekosistem hutan, struktur akar pohon yang kuat dan beragam mampu menahan air hujan di dalam tanah, mengurangi limpasan permukaan (run-off) yang memicu banjir. Lapisan kanopi hutan yang berjenjang juga berfungsi menahan intensitas hujan dan menjaga kelembaban mikro.
Sebaliknya, sawit memiliki akar serabut dangkal dengan kapasitas serap air yang terbatas. Kanopi tunggal pada perkebunan sawit membiarkan air hujan langsung menghantam permukaan tanah, meningkatkan kerentanan terhadap erosi dan degradasi tanah.
2. Bukti Empiris: Studi Jambi dan Krisis Sumatra
Fakta ilmiah ini diperkuat oleh studi hidrologi di Jambi, yang menunjukkan konversi hutan ke sawit menurunkan kemampuan tanah menyimpan air secara drastis. Hal ini berdampak langsung pada kualitas air di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan meningkatkan risiko banjir saat curah hujan tinggi.
Dampaknya kini terlihat nyata di Sumatra. Data Sistem Informasi Monitoring Nasional (NFMS/SIMONTANA) KLHK mencatat penyusutan drastis tutupan hutan alam akibat ekspansi sawit dan pertanian lahan kering sejak 1990 hingga 2024.
Kondisi hulu DAS di Sumatra kini memasuki fase kritis. Pada sebagian besar DAS, tutupan hutan alam tersisa kurang dari 25 persen. Hilangnya hutan lahan kering sekunder dan hutan rawa telah merusak sistem resapan air alami pulau tersebut.
3. Bencana Tapanuli: Sinyal Kerusakan Hulu
Kerentanan ekosistem ini tercermin dalam rangkaian bencana hidrometeorologi yang terus meningkat. Banjir bandang di Tapanuli Selatan, Tengah, dan Utara pada akhir November 2025 menjadi bukti nyata degradasi ekosistem hulu.
Material kayu, batu, dan lumpur yang terbawa arus deras menunjukkan hilangnya penyangga vegetasi di kawasan hulu. Pola bencana serupa muncul berulang di berbagai wilayah Sumatera, menandakan bahwa ini bukan sekadar dampak cuaca ekstrem, melainkan kegagalan sistemik benteng alam.
4. Ancaman Karbon dan Biodiversitas
Di luar isu banjir, konversi lahan gambut untuk sawit melepas karbon yang tersimpan ratusan tahun, memperburuk pemanasan global. Laporan deforestasi 2024 mencatat kehilangan 216 ribu hektare tutupan hutan nasional, mayoritas hutan sekunder Sumatra.
Konversi ke monokultur juga menurunkan keanekaragaman hayati secara drastis. Studi di Papua dan Riau mengonfirmasi hilangnya habitat flora-fauna endemik yang tidak bisa bertahan di ekosistem sawit.
Pemulihan ekosistem hulu dan perlindungan ketat kawasan bernilai ekologis tinggi menjadi kunci mutlak. Tanpa itu, ambisi B50 berisiko dibayar mahal dengan bencana ekologis yang semakin destruktif dan berulang di masa depan.

Alvin Bagaskara
Editor
