Dunia Usaha Perlu Perkuat Ketahanan Hadapi Bencana
- Bencana alam sering kali merupakan peristiwa tak terduga dan menimbulkan kerugian besar bagi UMKM. Sebagian besar UMKM yang terdampak, terutama di negara berkembang, tidak bisa pulih setelah bisnis mereka terdampak bencana alam karena rendahnya ketahanan terhadap bencana.

Distika Safara Setianda
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Bencana alam sering kali merupakan peristiwa tak terduga dan menimbulkan kerugian besar bagi UMKM. Sebagian besar UMKM yang terdampak, terutama di negara berkembang, tidak bisa pulih setelah bisnis mereka terdampak bencana alam karena rendahnya ketahanan terhadap bencana.
Di daerah pedesaan, UMKM yang bergantung pada lingkungan bisa dikategorikan sebagai salah satu sektor yang paling rentan, mengingat bencana dapat sangat mengganggu ketersediaan sumber daya alam dan waktu yang dibutuhkan ekosistem untuk pulih.
Melansir dari msmepolicy.unescap.org, untuk memperbaiki atau mengganti kerusakan akibat bencana, bisnis yang selamat sering kali terbebani utang. Karena banyak perusahaan lokal kesulitan menanggung seluruh biaya sendiri atau mempersiapkan diri menghadapi peristiwa langka yang tak terduga guna mengurangi kerugian.
- Baca Juga: Risiko Kredit Macet UMKM Membayangi, Pemerintah Didesak Wajibkan Asuransi Bencana Syarat KUR
Kerusakan infrastruktur telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber utama tekanan finansial bagi bisnis setelah bencana. Hal ini dapat menyebabkan penutupan bisnis sementara, sementara perbaikan struktural yang diperlukan untuk memulihkan operasional biasanya membutuhkan sumber daya yang besar.
Jika bisnis tidak diasuransikan atau kekurangan sumber daya untuk perbaikan, kelangsungan usaha berada dalam risiko.
Bahkan jika operasional kembali berjalan, kerusakan fisik terbukti memengaruhi kinerja bisnis yang bertahan, karena kerusakan parah menyiratkan periode penutupan lebih lama dan lebih banyak sumber daya yang harus dialokasikan untuk perbaikan, terutama bagi perusahaan yang tidak diasuransikan.
Seperti halnya gempa bumi yang baru-baru ini terjadi di Semenanjung Malaysia bagian selatan yang memicu kekhawatiran di kalangan ahli geologi dan pakar infrastruktur mengenai tingkat kerentanan kawasan tersebut terhadap peristiwa seismik, dan dampaknya terhadap bisnis di Malaysia dan Singapura.
Meski gempa di wilayah ini umumnya jarang terjadi dan berkekuatan sedang, para ahli mengingatkan pelaku usaha terutama di sektor infrastruktur, transportasi, konstruksi, dan manufaktur, tidak boleh meremehkan potensi gangguan, kerugian finansial, dan penghentian operasional akibat getaran gempa, meski hanya berskala ringan.
Dua gempa mengguncang wilayah Johor bagian utara, pada 24 Agustus 2025, gempa pertama berkekuatan magnitudo 4,1 dengan pusat gempa di dekat Segamat, disusul beberapa jam kemudian oleh gempa kedua berkekuatan 2,8 di barat laut Kluang.
Para ahli geologi memperingatkan peristiwa tersebut menegaskan masih aktifnya aktivitas seismik di sepanjang Zona Sesar Mersing. Jika tidak ditangani, hal ini berpotensi menimbulkan dampak yang lebih mahal bagi sektor swasta.
Para ahli memperingatkan peristiwa gempa meski berkekuatan sedang, dapat mengganggu keberlangsungan bisnis di berbagai sektor utama. Infrastruktur transportasi, pabrik manufaktur, pusat logistik, hingga gedung komersial menjadi pihak yang paling rentan terdampak.
Wakil Ketua Malaysian Structural Steel Association dan peneliti di Academy of Sciences Malaysia (ASM) Azlan Adnan menjelaskan, getaran gempa berpotensi memengaruhi geometri rel, bantalan jembatan, sambungan pemuaian, serta peralatan sensitif, terutama pada proyek perkeretaapian dan infrastruktur berskala besar.
“Operator harus memiliki prosedur operasi standar (SOP) pasca-kejadian, termasuk inspeksi visual, pengukuran geometri otomatis, dan instrumentasi pada jembatan panjang,” ujarnya, seraya mencontohkan Layanan Kereta Listrik (ETS) Malaysia, yang beroperasi di wilayah dekat episentrum gempa Agustus.
Dia merekomendasikan pemasangan akselerograf di infrastruktur penting untuk memantau dan merespons aktivitas seismik secara lebih baik.
“Mengingat jalur ETS hampir rampung, pemasangan akselerograf pada struktur utama di koridor ini merupakan langkah berbiaya rendah tetapi berdampak besar,” tambahnya.
Di sisi lain, sektor properti dan konstruksi menjadi salah satu yang paling terdampak oleh risiko gempa. Para ahli mengungkapkan sebagian besar bangunan di Semenanjung Malaysia dan Singapura memang tidak dirancang untuk menghadapi gempa besar.
Gempa kecil sekalipun tetap dapat menimbulkan kerusakan ringan hingga struktural pada fasilitas komersial, yang berujung pada klaim asuransi, inspeksi keselamatan, atau renovasi mahal.
Ahli geologi dari Asian School of Environment NTU Wei Shangli menegaskan, kerusakan akibat gempa tidak hanya terjadi di wilayah yang dekat garis patahan.
“Guncangan kuat dan deformasi tanah yang ditimbulkan gempa selalu menjadi ancaman bagi infrastruktur,” ujarnya.
Selain itu, pengawasan regulasi berpotensi diperketat, yang mengharuskan perusahaan melakukan audit struktur dan peningkatan fasilitas agar sesuai dengan standar bangunan terbaru. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, perusahaan bisa menghadapi risiko hukum dan kerugian finansial apabila terjadi kerusakan.
Para ahli menghimbau perusahaan untuk mengembangkan atau memperbarui pemulihan bencana dan rencana kesinambungan bisnis untuk memperhitungkan skenario gempa bumi, terutama di wilayah yang dekat dengan zona sesar aktif.
Para ahli juga merekomendasikan agar pemerintah dan dunia usaha berinvestasi lebih banyak dalam infrastruktur pemantauan seismik dan sistem komunikasi darurat, seperti perluasan jaringan seismometer, pembangunan jaringan akselerograf, serta integrasi sistem peringatan dini.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan pemasangan lebih banyak seismometer dan akselerograf di koridor berisiko tinggi seperti Mersing-Segamat untuk mendapatkan data gerakan tanah yang akurat dan mendukung penyempurnaan desain struktur,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, karena peningkatan komunikasi publik itu juga diperlukan, para ahli merekomendasikan agar operator bisnis diikutsertakan dalam latihan kesiapsiagaan bencana di masa mendatang dan diberikan pembaruan terkini dari Departemen Meteorologi Malaysia (MetMalaysia).
Meltzner mencatat pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi yang efektif akan memakan waktu bertahun-tahun dan investasi yang signifikan.
“Di California, butuh waktu lebih dari dua dekade untuk mengembangkannya dan masih belum sempurna,” jelasnya.
Karena kemungkinan terjadinya gempa yang lebih besar tidak sepenuhnya dikesampingkan, sejumlah pakar mendorong perusahaan asuransi dan bisnis untuk meninjau ulang tingkat paparan mereka terhadap risiko seismik. Hal ini mencakup peninjauan terhadap cakupan asuransi properti komersial dan memastikan bahwa aset utama dilindungi terhadap potensi kerusakan.
Di sisi lain, penasihat iklim dari Centre for Governance and Political Studies (Cent-GPS) Renard Siew menekankan, dunia usaha juga perlu mempertimbangkan bagaimana perubahan iklim dapat berinteraksi dengan risiko seismik.
Ia mengutip sejumlah studi dari India dan Taiwan yang menunjukkan curah hujan tinggi akibat perubahan iklim dapat mengubah kondisi tanah dan geologi, sehingga berpotensi memicu aktivitas seismik yang lebih sering.
“Perubahan iklim tidak secara langsung menyebabkan gempa bumi, tetapi perubahan iklim dapat meningkatkan risiko seismik,” jelasnya.
Meski peluang terjadinya gempa besar di Semenanjung Malaysia atau Singapura masih relatif kecil, para ahli menegaskan bahwa pelaku usaha tidak boleh mengabaikan risiko tersebut. Investasi pada ketahanan infrastruktur, kepatuhan regulasi, dan perencanaan kontingensi akan sangat penting untuk memastikan keberlanjutan dalam menghadapi bencana alam.
“Gempa yang lebih besar bisa saja terjadi di masa depan, seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Sektor swasta harus menjadi bagian dari solusi,” ungkap Wei.

Distika Safara Setianda
Editor