Risiko Kredit Macet UMKM Membayangi, Pemerintah Didesak Wajibkan Asuransi Bencana Syarat KUR
- Pengamat desak asuransi bencana jadi syarat KUR. Tanpa proteksi, kualitas portofolio kredit Rp246 triliun rentan tergerus lonjakan NPL akibat bencana.

Alvin Bagaskara
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Rentetan bencana banjir di Aceh dan Sumatera Utara sejak pertengahan November 2025 memicu desakan evaluasi perlindungan kredit. Asuransi bencana dinilai harus menjadi komponen wajib dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat atau KUR, bukan lagi sekadar opsi tambahan yang bersifat sukarela.
Pengamat Asuransi yang juga Arbiter di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Irvan Rahadjo, menilai langkah ini mendesak. Ia menekankan pentingnya melindungi aset produktif UMKM yang hidup di negara rawan bencana, sekaligus mengamankan uang negara yang disalurkan melalui perbankan.
"Ya, sudah mendesak bagi pemerintah untuk mewajibkan asuransi bencana sebagai syarat mutlak penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) demi melindungi aset produktif UMKM, meskipun saat ini sifatnya masih didorong atau opsional," ujarnya kepada TrenAsia pada Jumat, 28 November 2025.
Lindungi Triliunan Dana Negara
Desakan ini sangat relevan melihat besarnya eksposur risiko. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat realisasi penyaluran KUR hingga 31 Oktober 2025 mencapai Rp246,58 triliun. Dana jumbo yang disalurkan ke jutaan debitur ini terancam macet total jika bencana menghancurkan tempat usaha mereka.
Potensi kredit macet kian nyata dan mengkhawatirkan industri perbankan nasional. Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) sektor UMKM sudah menyentuh level 4,7%, angka yang sangat mendekati ambang batas psikologis aman sebesar 5%.
Risiko ini semakin membesar akibat bencana alam di wilayah sentra ekonomi. Banjir di Aceh dan Sumut yang merendam ribuan usaha debitur KUR memperbesar potensi gagal bayar massal, terutama jika aset usaha mereka musnah total tanpa adanya mekanisme ganti rugi asuransi.
Untuk itu, kata Irvan, alasan geografis tidak bisa ditawar. "Mengingat posisi Indonesia di 'Ring of Fire', risiko bencana alam sangat tinggi dan perlindungan asuransi penting untuk ketahanan usaha," tegasnya mengingatkan bahwa bencana adalah keniscayaan yang harus dimitigasi dengan kebijakan yang tegas.
Atasi Kegagalan Pasar
Irvan menilai intervensi pemerintah lewat kewajiban regulasi sangat diperlukan karena mekanisme pasar gagal berjalan alami. "Penyebab rendahnya penetrasi asuransi bencana di Indonesia bukan karena satu faktor tunggal, melainkan kombinasi dari beberapa masalah sistemik, termasuk rendahnya literasi keuangan," jelasnya.
Data industri per Semester I-2025 mengonfirmasi kegagalan tersebut. Tercatat 53% dari total 60 juta pelaku UMKM tidak memiliki mitigasi risiko. Bahkan, penetrasi asuransi rumah tinggal tercatat hanya 0,1%, menandakan mayoritas aset masyarakat benar-benar tidak terlindungi dari ancaman bencana.
Hambatan kultural dan persepsi yang salah masih menjadi kendala besar di lapangan. "Faktor utama meliputi: Literasi Rendah: Kurangnya pemahaman masyarakat akan manfaat proteksi asuransi dan masih adanya miskonsepsi bahwa asuransi berkaitan dengan kesialan atau proses klaim yang rumit," pungkasnya.

Alvin Bagaskara
Editor