Aktivitas Nongkrong Anak Muda Potensi Dongkrak PAD Jakarta
- Pendapatan daerah DKI Jakarta sangat bergantung pada pajak konsumsi dari sektor favorit anak muda, seperti restoran, hiburan, dan parkir. Sekitar 82 persen pendapatan berasal dari pajak, sementara retribusi hanya 4–6 persen.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pendapatan daerah DKI Jakarta masih sangat bergantung pada pajak, terutama yang bersumber dari aktivitas konsumsi dan mobilitas masyarakat kota.
Berdasarkan data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Daerah (APBD) DKI Jakarta 2025, pajak daerah diproyeksikan menyumbang sekitar 82% dari total Pendapatan Asli Daerah (PAD), dengan kontribusi terbesar berasal dari sektor favorit anak muda.
Sementara itu, retribusi daerah hanya berkontribusi sekitar 4 hingga 6%. Pajak dan retribusi menjadi dua komponen penopang APBD. Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan warga Jakarta.
Dana yang dihasilkan dari pajak dan retribusi, digunakan untuk membangun fasilitas umum, layanan pendidikan, transportasi serta program kesehatan. Dilihat dari jumlah dana, pajak memiliki keunggulan yang jauh lebih besar dan dihasilkan dari sektor favorit anak muda seperti dari pajak restoran, hotel, tempat hiburan, parkir, serta lainnya.
Pajak restoran dikenakan rata-rata 10% pada semua transaksi makan dan minum, termasuk kafe, kedai kopi, hingga warung modern. Pajak hiburan di Jakarta berada dalam rentang 15 hingga 40%, tergantung dengan jenis kegiatannya. Sementara itu, biaya parkir resmi di area komersial rata-rata berkisar Rp5.000 hingga Rp12.000 per jam.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 41,4% pekerja usia 20–34 tahun di Jakarta berada di sektor informal dan layanan. Kelompok ini cenderung mengandalkan penghasilan yang tidak sepenuhnya stabil, sehingga fluktuasi biaya konsumsi kota dapat memengaruhi daya beli.
Pola Konsumsi Anak Muda
Tingginya aktivitas nongkrong, rekreasi, dan mobilitas di pusat kota, membuat sektor-sektor tersebut menjadi penyumbang penerimaan yang signifikan. Namun, kondisi ini juga menunjukkan bahwa kinerja pendapatan daerah sangat dipengaruhi pola konsumsi anak-anak muda.
Saat daya beli turun atau preferensi hiburan bergeser, penerimaan pajak dari sektor ini dapat berfluktuasi. Hal ini terlihat pada periode 2020–2021 ketika pembatasan kegiatan sosial akibat COVID-19 yang menekan aktivitas restoran dan hiburan, sehingga berdampak langsung pada penurunan PAD.
Di sisi lain, dominasi pajak konsumsi juga mencerminkan karakter ekonomi Jakarta yang berorientasi pada jasa dan gaya hidup. Peralihan tren dari belanja barang ke pengalaman (experience economy) seperti konser, kafe, ruang komunitas, dan co-working membuat sektor hiburan serta restoran tetap menjadi tulang punggung penerimaan pajak kota.
Namun, ketergantungan ini menimbulkan tantangan jangka panjang, terutama dalam hal menjaga keterjangkauan harga bagi warga dengan pendapatan menengah ke bawah. Peningkatan pajak yang tidak diimbangi dengan perbaikan layanan publik berisiko memicu tekanan biaya hidup, terutama bagi kelompok usia produktif yang masih membangun stabilitas finansial.
Oleh karena itu, Bapenda dan Pemprov DKI Jakarta mendorong digitalisasi pembayaran pajak, penertiban parkir liar, dan perluasan basis pajak sektor jasa baru agar pendapatan daerah tetap stabil tanpa membebani masyarakat secara berlebihan.
Untuk ke depannya, penguatan PAD dapat diarahkan pada pengembangan ekonomi kreatif, kewirausahaan kuliner, dan ruang usaha skala kecil yang ramah bagi pelaku muda. Untuk mendorong lebih banyak pelaku usaha mikro dan kreatif menjadi naik kelas menjadi usaha formal, pemerintah kota dapat memperluas basis pajak secara sehat, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Pendekatan ini dinilai lebih berkelanjutan dibanding hanya mengandalkan intensifikasi pajak dari sektor hiburan dan konsumsi kelas menengah.

Chrisna Chanis Cara
Editor