Tren Global

Sanksi Barat Tak Tumbangkan Ekonomi Rusia, Ini Rahasia Ketahanannya

  • Menjelang KTT Alaska, Rusia mengandalkan minyak, mineral langka, dan diplomasi global untuk meredam dampak embargo AS-Uni Eropa.
trump putin.jpg

MOSKOW - Menjelang pertemuan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden AS Donald Trump di Alaska, sorotan tertuju pada kemampuan Rusia bertahan dari gempuran sanksi Barat yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Sejak sanksi besar-besaran diberlakukan pada 2022 akibat invasi ke Ukraina, Kremlin mengembangkan strategi ketahanan ekonomi yang mengandalkan diversifikasi pasar, substitusi impor, dan penguatan sektor non-energi.

Rusia secara sistematis mengalihkan ekspor energi dari pasar tradisional di Eropa ke Asia. China kini menjadi pembeli minyak terbesar Rusia, menyerap 35 persen dari total ekspor, sementara India meningkatkan impor minyak Rusia hingga 22 kali lipat. 

Untuk menghindari dampak isolasi keuangan, kedua negara memanfaatkan transaksi dengan mata uang lokal, 75 persen perdagangan Rusia-China kini dilakukan dalam yuan dan rubel, meminimalkan ketergantungan pada sistem SWIFT yang diblokir Barat.

Sanksi yang memutus pasokan teknologi mendorong Moskow mempercepat kemandirian industri. Pemerintah memberikan subsidi besar untuk manufaktur, farmasi, otomotif, dan pertanian. 

Baca juga : Alaska Dijual Tsar Rusia ke AS, Kini Trump dan Putin Bertemu di Tanah Bersejarah

Sektor teknologi mengembangkan chip dalam negeri seperti “Baikal” untuk kebutuhan militer, sementara ketergantungan impor di sejumlah industri strategis berhasil ditekan hingga 40 persen.

Penurunan pendapatan energi diimbangi dengan peningkatan ekspor komoditas lain. Ekspor biji-bijian, pupuk, dan senjata tumbuh 18 persen pada 2024, menjadi penopang devisa baru di tengah embargo minyak dari AS dan Uni Eropa.

Rangkaian Sanksi dan Respons Kremlin

Sejumlah sanksi utama Barat mencakup embargo energi, tarif sekunder 100 persen bagi negara yang membeli minyak Rusia, pembekuan cadangan devisa senilai US$300 miliar, serta blokir akses bank Rusia ke SWIFT. 

Moskow merespons dengan menawarkan diskon harga ke pembeli Asia, memanfaatkan “shadow fleet” kapal tanker untuk menghindari pengawasan, serta mengandalkan cadangan emas dan yuan yang kini mencapai 25 persen dari total cadangan devisa.

Meski menunjukkan adaptasi, perekonomian Rusia menghadapi inflasi 9,4 persen pada Juni 2025 akibat depresiasi rubel dan kelangkaan barang. Defisit anggaran tercatat 3,8 persen PDB pada 2024, sementara biaya perang diperkirakan mencapai US$100 miliar per tahun. Pelarian modal besar-besaran senilai US$253 miliar selama 2022–2024 juga memperburuk tekanan keuangan.

Baca juga : Jelang Pertemuan Trump-Putin, Rusia Tembus Garis Pertahanan Ukraina

Kremlin menegaskan tidak akan menerima gencatan senjata kecuali Ukraina menyerahkan wilayah Donetsk dan Luhansk. Putin juga memanfaatkan perbedaan sikap antara AS dan Eropa terkait tarif energi, serta mempersiapkan tawaran strategis kepada Washington, pencabutan sanksi energi dengan imbalan konsesi teritorial di Ukraina, dan peluang kerja sama pengembangan sumber daya Arktik termasuk mineral langka di Alaska.

Ketahanan ekonomi Rusia hingga saat ini dibangun melalui adaptasi sistemik dan pergeseran poros perdagangan. Namun, rapuhnya fondasi fiskal dan risiko sanksi sekunder yang lebih luas membuat KTT Alaska menjadi ujian penting bagi Putin. Keberhasilan menyeimbangkan ambisi geopolitik dan kebutuhan ekonomi dapat menentukan arah masa depan Rusia dalam dekade mendatang.