Tren Global

Alaska Dijual Tsar Rusia ke AS, Kini Trump dan Putin Bertemu di Tanah Bersejarah

  • Pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin di Alaska membawa simbolisme sejarah penjualan 1867 kawasan tersebut dan tarik-ulur damai Ukraina - Rusia
anjing alaska2.jpg

JAKARTA, TRENASIA.ID - Pada tanggal 15 Agustus 2025, Pangkalan Militer Gabungan Elmendorf-Richardson menjadi panggung pertemuan yang sarat simbolisme antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Agenda utama mereka yakni mencari jalan keluar dari perang Ukraina.

Putin menuntut pengakuan internasional atas klaimnya di Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson, sementara Trump mengincar citra sebagai “pencipta perdamaian global” meski sikapnya kerap berubah-ubah.

Pemilihan Alaska bukan kebetulan, wilayah ini dulu bagian dari Kekaisaran Rusia hingga 1867, sebelum dijual ke AS. Media Rusia Moskovsky Komsomolets menyebut Alaska “bukti bahwa batas negara dapat berubah”, narasi yang coba dipakai Kremlin untuk membenarkan aneksasi di Ukraina. 

Dari sisi keamanan, jaraknya hanya ±90 km dari Rusia melalui Selat Bering, memudahkan Putin terbang tanpa melintasi negara yang dianggap “musuh” dan membatasi peran Eropa dalam diplomasi.

Namun, sejarah Alaska justru menceritakan kebalikannya, Rusia kehilangan wilayah ini karena kelemahan, bukan kekuatan.

Baca juga : Jelang Pertemuan Trump-Putin, Rusia Tembus Garis Pertahanan Ukraina

Sejarah Awal Alaska

Ekspedisi Rusia ke Alaska dimulai 1732 oleh Mikhail Gvozdev yang memetakan pantai barat. Pada tahun 1741, Vitus Bering dan Alexei Chirikov tiba di kepulauan Alaska, melaporkan melimpahnya bulu berang-berang laut (sea otter), komoditas yang kelak menopang “Russian America”.

Kolonisasi dimulai 1784 ketika Grigory Shelikhov mendirikan permukiman di Pulau Kodiak. Pada tahun 1799, Tsar Paul I memberi monopoli perdagangan kepada Perusahaan Rusia-Amerika (RAC) di bawah Nikolay Rezanov. 

Aleksandr Baranov, manajer RAC, memperluas kekuasaan ke Sitka (Novo-Arkhangelsk) setelah mengalahkan suku Tlingit pada 1804. Rusia bahkan mencoba membangun Fort Ross di California (1812) untuk mendukung pasokan pangan ke Alaska.

Koloni ini menghadapi perlawanan keras penduduk asli seperti Tlingit, Aleut, dan Yup’ik. Penyakit Eropa yang gampang menyerang penduduk pribumi seperti cacar memusnahkan hingga 80% populasi alaska karena meraka tak memiliki kekebalan tubuh memadai, sementara itu sistem kerja paksa memperburuk hubungan Rusia dengan suku lokal.

 Secara logistik, Alaska terpencil, hanya dihuni ±700 pemukim Rusia, dan bergantung pada jalur laut panjang dari Siberia. Persaingan dengan Perusahaan Hudson’s Bay (Inggris) semakin mempersempit ruang gerak.

Kekalahan Rusia dalam Perang Krimea (1853–1856) membuat beban Alaska terasa berat. Dengan sumber daya terbatas dan ancaman Inggris di Pasifik Utara, Tsar Aleksander II mulai mempertimbangkan penjualan.

Baca juga : Bagaimana Tarif Sekunder Trump terhadap Rusia Bisa Berdampak pada Perekonomian Global?

Penjualan ke Amerika Serikat

Negosiasi rahasia antara diplomat Rusia Eduard de Stoeckl dan Menteri Luar Negeri AS William Seward menghasilkan kesepakatan pada tanggal 30 Maret 1867, Alaska dijual seharga US$$7,2 juta atau sekitar 2 sen per hektare, setara US$±$162 juta saat ini. Tujuannya, mencegah Inggris merebut wilayah itu dan mempererat hubungan dengan AS.

Serah terima resmi berlangsung di Sitka pada tanggal 18 Oktober 1867. Bendera Rusia diturunkan, digantikan bendera AS. Kala itu, banyak media Amerika mengejek pembelian ini sebagai “Seward’s Folly” atau “Kebodohan Seward” karena dianggap membeli “gurun es tak berguna”.

Pandangan itu berubah drastis. Demam emas Klondike (1896) memicu migrasi besar, Alaska menjadi territory pada 1912, lalu negara bagian ke-49 pada 3 Januari 1959. Penemuan minyak Prudhoe Bay (1968) menjadikannya tulang punggung ekonomi negara bagian, sementara letaknya strategis sebagai garis depan pertahanan AS di era Perang Dingin. Pangkalan Elmendorf-Richardson sendiri dijuluki “Top Cover for North America”.

Kini, lebih dari 150 tahun setelah penjualan, Alaska kembali menjadi panggung hubungan AS-Rusia. Putin mencoba memanfaatkan sejarah untuk membenarkan ekspansi, padahal catatan menunjukkan Rusia melepaskannya karena tekanan ekonomi dan militer. Sekitar 15% penduduk Alaska adalah keturunan pribumi yang masih menjaga warisan budaya Rusia, dari Gereja Ortodoks hingga nama-nama tempat seperti Sitka.

Kesepakatan damai Ukraina masih jauh, sejauh ini  Kyiv tegas menolak menyerahkan 18% wilayahnya. Tetapi, pertemuan ini membuktikan bahwa sejarah, geografi, dan simbolisme tetap menjadi alat tawar dalam politik global.