Rapor IPO 2025: Volume Sepi, Tapi Saham Konglomerat Terbang Tinggi
- Pasar IPO 2025 diwarnai disparitas ekstrem. Saham COIN melonjak 3.700% dan emiten energi konglomerat seperti RATU naik ratusan persen, sementara sektor ritel terpuruk dalam.

Alvin Bagaskara
Author

JAKARTA, TRENASIA.ID – Pasar penawarn umum saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia tahun 2025 mencatat anomali yang mengejutkan. Meski volume pencatatan saham baru menyusut drastis menjadi hanya 25 emiten, volatilitas pasar sekunder justru meledak signifikan. Fenomena ini menciptakan kesenjangan kinerja yang sangat ekstrem antar emiten baru yang melantai tahun ini.
Investor menyaksikan pasar terbelah menjadi dua kutub yang sangat berlawanan arah. Keuntungan jumbo terkonsentrasi pada sektor spesifik seperti aset digital dan energi yang didukung konglomerasi besar. Sebaliknya, sektor ritel dan konsumer justru menjadi area kerugian besar bagi pemodal ritel yang kurang selektif dalam memilih portofolio.
Penurunan kuantitas emiten baru ini merefleksikan sikap hati-hati pelaku usaha di tengah dinamika global. Namun, bagi trader, tahun ini adalah surga volatilitas di mana pemilihan saham yang tepat pada sektor "panas" bisa menghasilkan keuntungan ribuan persen, jauh melampaui rata-rata pengembalian investasi tahun-tahun sebelumnya.
1. Fenomena COIN: Terbang 3.700 Persen
Bintang utama panggung IPO tahun ini jatuh kepada PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN). Emiten ini mencatatkan rekor kenaikan harga tertinggi, terbang hingga 3.700 persen dari harga perdananya. Kenaikan irasional ini didorong oleh euforia investor yang memburu eksposur instan terhadap tren pasar aset digital global.
Saham COIN dianggap sebagai instrumen proksi paling likuid di bursa reguler saat ini. Investor ritel berbondong-bondong masuk untuk menunggangi gelombang bull run kripto, menjadikannya saham dengan imbal hasil tertinggi tahun ini. Fenomena ini mengalahkan kinerja seluruh emiten sektor riil lainnya yang bergerak lebih moderat.
Kenaikan fantastis ini menjadi bukti perubahan selera pasar yang semakin agresif. Narasi pertumbuhan eksponensial di sektor teknologi finansial lebih dihargai daripada fundamental konvensional. Saham COIN menjadi simbol spekulasi tinggi tahun 2025, menarik likuiditas besar dari para day trader yang mencari keuntungan jangka pendek.
2. Efek Konglomerat: Kata Analis
Dominasi saham yang terafiliasi dengan konglomerat besar juga tak terbantahkan tahun ini. PT Raharja Energi Cepu Tbk (RATU) milik grup Happy Hapsoro melonjak 819 persen. Kinerja serupa ditunjukkan PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) afiliasi Prajogo Pangestu yang meroket 868 persen berkat dukungan induk usaha.
Head of Research Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, menyoroti fenomena ini secara khusus. Ia menilai di tengah ketidakpastian pasar, investor cenderung melihat kekuatan pengendali di balik emiten baru sebagai jaminan keamanan. Nama besar pemilik menjadi faktor krusial dalam menjaga stabilitas harga saham di pasar sekunder.
Kepercayaan terhadap grup besar ini menjadi katalis tingginya kenaikan harga, karena pasar yakin emiten tersebut memiliki akses modal dan proyek yang kuat. "Jadi orang kembali lagi liat owner, karena nanti ketahuan grup-grup yang maintain harga. Lihat siapa di balik perusahaan IPO," kata Rully dalam keterangannya pada Senin, 16 Desember 2025.
| Kode Saham | Nama Emiten | Sektor | Harga Penutupan (15 Des 2025) | Kenaikan (%) | Harga IPO | Profil Pengendali |
| COIN | PT Indokripto Koin Semesta Tbk | Financials (Crypto) | Rp3,800 | 3700% | Rp100 | Konglomerasi Pedagang Kripto |
| CDIA | PT Chandra Daya Investasi Tbk | Infrastructures | Rp1,840 | 868.42% | Rp190 | Prajogo Pangestu |
| RATU | PT Raharja Energi Cepu Tbk | Energy | Rp10,575 | 819.57% | Rp1,150 | Happy Hapsoro |
| CBDK | PT Bangun Kosambi Sukses Tbk | Properties | Rp8,725 | 114.90% | Rp4,060 | Sugianto Kusuma/Aguan |
| EMAS | PT Merdeka Gold Resources Tbk | Basic Materials | Rp5,450 | 89.24% | Rp2,880 | Boy Thohir |
3. Sektor Ritel yang Terpuruk Dalam
Nasib berbeda dialami sektor konsumer ritel yang mayoritas emiten dengan pengendali non konglomerat justru berdarah-darah pasca-listing. Misaslnya, PT Jantra Grupo Indonesia Tbk (KAQI) menjadi emiten berkinerja terburuk dengan koreksi mencapai 41 persen. Pasar menilai emiten ritel skala kecil sangat rentan terhadap isu pelemahan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini.
Selain itu, valuasi awal yang dianggap terlalu premium membuat investor enggan bertahan lama. Tak ayal, tekanan jual masif menghampir emiten lain seperti PT Raja Roti Cemerlang Tbk (BRRC) dan PT Yupi Indo Jelly Gum Tbk (YUPI) yang terkoreksi tajam. Hal ini menjadi pelajaran mahal bahwa tidak semua saham IPO menjanjikan keuntungan instan bagi investor perdana.
Kondisi ini menegaskan pentingnya analisis fundamental sebelum membeli saham IPO. Sektor yang sensitif terhadap inflasi dan daya beli terbukti menjadi laggard tahun ini. Investor institusi cenderung menghindari sektor ini, menyebabkan likuiditas kering dan harga saham terus tertekan tanpa adanya pembeli siaga.

4. Menanti Debut Saham SUPA
Pelaku pasar kini menanti pencatatan saham perdana PT Super Bank Indonesia Tbk (SUPA) pada pertengahan Desember. Sebagai emiten perbankan digital, kinerja debut SUPA akan menjadi penentu krusial apakah tren bullish di sektor finansial-teknologi masih akan berlanjut hingga penutupan perdagangan akhir tahun nanti.
Jika SUPA sukses mengekor jejak COIN, tahun 2025 resmi menjadi tahun kejayaan sektor digital. Keberhasilan ini akan mengukuhkan tesis bahwa investor tahun ini lebih memprioritaskan narasi pertumbuhan agresif dibandingkan stabilitas sektor konsumsi yang sedang tertekan oleh kondisi makroekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih.
Ekspektasi pasar sangat tinggi terhadap emiten penutup tahun ini. Jika SUPA gagal memenuhi harapan, bisa terjadi aksi ambil untung massal di sektor teknologi. Namun jika berhasil, ini akan menjadi sinyal kuat bahwa selera risiko investor untuk saham-saham berbasis pertumbuhan masih sangat besar menyongsong 2026.

Alvin Bagaskara
Editor