Paradoks Kinerja INCO: Pendapatan Stagnan, Laba Bersih Tumbuh Tipis
- Meski pendapatan stagnan, Vale Indonesia (INCO) mencatat laba bersih US$52,44 juta di kuartal III-2025. Laba ditopang pendapatan keuangan dan derivatif.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – PT Vale Indonesia Tbk (INCO) melaporkan kinerja kuartal III-2025 yang menyajikan sebuah paradoks. Di satu sisi, pendapatan perusahaan tercatat stagnan tipis di level US$705,39 juta, turun sedikit dari US$708,57 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Namun di sisi lain, INCO justru berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih. Laba perusahaan tercatat naik 2,6% secara tahunan (YoY) menjadi US$52,44 juta. Kinerja ini menunjukkan ketahanan model bisnis yang tidak hanya bergantung pada harga komoditas nikel.
Lantas, dari mana sumber keuntungan INCO jika bukan berasal dari penjualan nikel matte? Jawabannya terletak pada dua pos non-operasional yang signifikan, yaitu pendapatan keuangan dan keuntungan dari instrumen derivatif, yang berhasil menopang bottom line perusahaan.
1. Sumber Laba Non-Operasional: Pendapatan Keuangan
Pendorong laba non-operasional pertama datang dari pos pendapatan keuangan. Laporan keuangan mencatat INCO meraih US$21,50 juta dari pos ini. Pendapatan ini berasal dari imbal hasil atas tumpukan kas besar yang dimiliki oleh perusahaan.
Posisi kas dan setara kas perusahaan per September 2025 tercatat mencapai sekitar US$496 juta. Manajemen tampaknya berhasil memanfaatkan kas besar ini untuk mendapatkan pendapatan bunga yang signifikan, yang menopang laba bersih di tengah stagnasi pendapatan utama.
2. Kontribusi dari Keuntungan Derivatif
Pendorong laba kedua berasal dari keuntungan nilai wajar derivatif, di mana INCO membukukan keuntungan sebesar US$16,57 juta. Pos ini mencerminkan penerapan strategi manajemen risiko finansial yang aktif guna menjaga kinerja keuangan di tengah fluktuasi pasar komoditas.
Strategi ini menjadi krusial di tengah tingginya volatilitas harga nikel global sepanjang 2025. Berdasarkan data pasar yang dirangkum dari TradingEconomics, IMF, dan FocusEconomics, harga nikel dunia bergerak di kisaran US$14.000–16.000 per ton selama tahun berjalan.
Kondisi tersebut dipengaruhi oleh lonjakan pasokan dari Tiongkok dan Filipina serta permintaan baterai listrik yang masih melemah. Dalam situasi seperti ini, penggunaan instrumen derivatif memberi manfaat finansial bagi Vale untuk menjaga margin keuntungan dan kestabilan arus kas.
3. Fondasi Kinerja: Efisiensi Biaya Operasional
Ketahanan laba ini juga didukung oleh fondasi operasional yang kuat. Manajemen INCO berhasil menjaga disiplin biaya dengan ketat. Beban pokok pendapatan (COGS) tercatat stabil di US$631,90 juta, hampir setara dengan periode tahun lalu.
Efisiensi juga terlihat pada beban usaha yang berhasil ditekan menjadi US$24,61 juta. Pengendalian biaya yang ketat ini memungkinkan perusahaan menjaga laba usaha tetap positif di level US$43,84 juta, meskipun pendapatan dari penjualan nikel stagnan.
Selain itu EBITDA kuartal III-2025 tercatat naik menjadi US$74,6 juta, meningkat signifikan dibanding US$40,0 juta pada kuartal sebelumnya. Peningkatan ini didukung oleh penurunan unit cash cost nikel matte menjadi US$9.304 per ton dari US$9.384 per ton pada kuartal II-2025, seiring turunnya harga bahan bakar dan efisiensi operasional.
4. Strategi Jangka Panjang: Hilirisasi dan Energi
Secara jangka menengah, INCO tetap fokus pada strategi pertumbuhan intinya. Perusahaan menargetkan produksi 71.234 ton nikel matte pada 2025. Target ini akan didukung oleh investasi masif untuk integrasi ke hilir melalui dua proyek smelter utamanya.
Proyek smelter di Pomalaa dan Bahodopi akan menjadi fokus utama perusahaan ke depan. Selain itu, perusahaan terus mengandalkan efisiensi energi melalui PLTA Larona untuk mempertahankan posisi sebagai produsen nikel matte berbiaya rendah di Asia Tenggara.

Alvin Bagaskara
Editor
