Nasional

AS Soroti Hambatan Dagang dan Investasi di Indonesia: Ini Daftar Kritiknya

  • Dalam laporan National Trade Estimate Report 2025, AS menyoroti berbagai hambatan perdagangan dan investasi di Indonesia, mulai dari lemahnya perlindungan HaKI, pembatasan sektor jasa, hingga kebijakan impor dan subsidi yang dianggap diskriminatif.
publikasi_1745155701_6804f67502fe0.jpeg
Pertemuan delegasi Indonesia dengan perwakilan pemerintah AS, membahas negosiasi tarif (https://ekon.go.id/)

JAKARTA – Dalam laporan terbarunya, National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers (2025) dan Notorious Markets List 2024, pemerintah Amerika Serikat melontarkan sejumlah kritik tajam terhadap berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia.

Sorotan tersebut mencakup isu tarif, hambatan investasi, perlindungan kekayaan intelektual, hingga regulasi sektor jasa. AS secara terbuka meminta Indonesia melakukan pembenahan demi menciptakan iklim perdagangan yang lebih adil dan terbuka.

Berikut adalah isu-isu utama yang menjadi perhatian pemerintah AS terhadap kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia:

1. Lemahnya Perlindungan Kekayaan Intelektual (HaKI)

Pasar Mangga Dua di Jakarta kembali masuk dalam daftar hitam Notorious Markets List sebagai lokasi penjualan barang bajakan. Pemerintah AS menilai penegakan hukum terhadap pelanggaran HaKI di Indonesia masih minim.

Indonesia diminta mengaktifkan gugus tugas kekayaan intelektual untuk meningkatkan koordinasi dan efektivitas dalam menindak pelanggaran.

2. Regulasi yang Menghambat Perdagangan Digital

Produk digital tak berwujud, seperti perangkat lunak, memang tidak dikenai tarif. Namun, kewajiban pelaporan ke Bea Cukai dianggap AS sebagai hambatan administratif yang membebani pelaku usaha.

Selain itu, regulasi terhadap konten internet dinilai terlalu membatasi dan tidak sejalan dengan prinsip perdagangan bebas digital.

3. Kebijakan Pengadaan yang Dianggap Diskriminatif

AS mengkritik kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah Indonesia yang memprioritaskan produk dalam negeri. Instruksi kepada lembaga dan BUMN untuk memaksimalkan penggunaan produk lokal dinilai sebagai bentuk proteksionisme yang membatasi akses perusahaan asing ke pasar Indonesia.

4. Hambatan terhadap Investasi Asing

Kendati Indonesia telah mencabut beberapa sektor dari Daftar Negatif Investasi (DNI), AS menyoroti masih adanya pembatasan kepemilikan asing di sektor strategis seperti media, transportasi udara, dan penyiaran.

Selain itu, inkonsistensi dalam pelaksanaan reformasi investasi disebut sebagai faktor yang menghambat masuknya investor asing.

5. Hambatan Teknis dalam Perdagangan

AS menilai Indonesia menerapkan persyaratan teknis yang terlalu ketat terhadap produk impor, seperti mainan anak, produk halal, dan registrasi fasilitas produksi hewan.

Biaya inspeksi dari Kementerian Pertanian RI di AS, yang dapat mencapai lebih dari US$10.000, dinilai memberatkan pelaku usaha kecil dan menengah Amerika.

6. Regulasi Ketat di Sektor Jasa

Sejumlah kebijakan di sektor jasa turut menjadi sorotan, seperti kuota wajib 60% film domestik di bioskop, pembatasan di sektor ekspedisi ekspres, serta regulasi ketat di sektor keuangan, kesehatan, waralaba, ritel, dan telekomunikasi.

Untuk sektor teknologi informasi, lisensi impor dianggap menghambat masuknya produk-produk asal AS.

7. Transparansi Program Subsidi

AS menuding Indonesia memberikan insentif fiskal dan non-fiskal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan kawasan ekspor tanpa pelaporan yang transparan kepada WTO. Washington mendesak agar Indonesia memenuhi kewajiban notifikasi terhadap seluruh program subsidi sesuai aturan WTO.

8. Ketidaksesuaian Tarif Impor dengan Komitmen WTO

AS juga menyoroti tarif bea masuk atas sejumlah produk, terutama di sektor teknologi informasi dan komunikasi, yang dinilai melebihi komitmen Indonesia dalam WTO.

Di samping itu, proses audit pajak yang rumit, restitusi pajak yang lambat, serta perizinan impor yang tumpang tindih dan tidak efisien dianggap menghambat transparansi dan efisiensi bisnis.

9. Isu Korupsi, DMO Batu Bara, dan Kontrak Migas

Kekhawatiran lain yang disampaikan AS mencakup tingginya tingkat korupsi, lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah, serta lambannya proses pembebasan lahan untuk investasi.

Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara, skema bagi hasil minyak dan gas, serta kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) juga dianggap menciptakan ketidakpastian bagi investor asing.

Meski pemerintah Indonesia terus melakukan reformasi, AS menilai masih banyak kebijakan yang belum sejalan dengan semangat liberalisasi dan keterbukaan pasar global. Respons Indonesia terhadap kritik ini akan sangat menentukan posisi strategisnya dalam peta perdagangan dan investasi internasional ke depan.