Nasional

Akhirnya Bebas, Dua Dekade Alex Denni jadi Korban Kriminalisasi

  • Setelah hampir dua dekade memperjuangkan keadilan, Alex Denni akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan hukum usai Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus yang membelitnya sejak 2007.
Media Briefing Alex Denny - Panji 2.jpg
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julis Ibrani (kiri) bersama Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Periode 2021-2023 Alex Denni(kanan) yang menjadi korban kriminalisasi dan dugaan rekayasa hukum selama hampir dua decade dalam Media Briefing Putusan Peninjauan Kembali (PK) Alex Denni di Jakarta, Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Alex Denni tidak hanya memberikan keadilan bagi Alex Denni namun juga diharapkan menjadi momentum bagi koreksi total sistem peradilan di Indonesia. Jumat 16 Mei 2025. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia (trenasia.com)

JAKARTA – Setelah hampir dua dekade memperjuangkan keadilan, Alex Denni akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan hukum usai Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus yang membelitnya sejak 2007. Putusan ini menjadi sinyal kuat bahwa sistem peradilan di Indonesia harus melakukan koreksi besar-besaran.

MA melalui putusan PK Nomor 1091 PK/Pid.Sus/2025 menyatakan Alex tidak bersalah dan membatalkan seluruh putusan terdahulu. Artinya, Adapun Deputi Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) periode 2021-2023  ini secara resmi dibebaskan dari dakwaan korupsi dalam proyek konsultan di PT Telkom yang menyeret namanya hampir 20 tahun silam.

“Putusan ini adalah bukti bahwa rekayasa hukum itu nyata dan saya adalah korbannya,” ujar Alex saat ditemui di Jakarta pada Jumat, 16 Mei 2025.

Berdasarkan informasi dari laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia, perkara PK dengan nomor perkara 1091 PK/Pid.Sus/2025 tersebut telah diputus pada 23 April 2025 lalu. Bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim adalah Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto dengan dua Hakim Anggota yakni Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Jupriyadi.

“Amar putusan: PK=Kabul, Batal JJ, Adili Kembali, Bebas/Vrijspraak,” demikian keterangan yang tertera di laman resmi informasi perkara MA seperti dikutip Jumat 16 Mei 2025.

Kejanggalan Hukum Terungkap

Eksaminasi yang dilakukan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dan tiga ahli pidana menemukan berbagai kejanggalan fatal, baik dari sisi prosedural maupun substansi hukum. Ketua PBHI Julius Ibrani menyebut kasus Alex merupakan potret nyata peradilan sesat di Indonesia.

Secara prosedural, Julius mencontohkan, kejanggalan terletak pada putusan dan relaas yang tidak pernah disampaikan maupun komposisi majelis hakim yang melibatkan hakim militer.

Sementara secara substantif, kejanggalan terlihat pada penerapan pasal 55 KUHP terkait penyertaan namun hanya terhadap satu orang saja yang notabene bukan penyelenggara negara. Berbagai kejanggalan ini menciptakan disparitas hukum yang dalam kebijakan MA dilarang.

“Bayangkan, satu perkara, tiga terdakwa. Dua bebas di banding, satu tetap dihukum hingga kasasi. Padahal, substansi perkara sama. Ini bentuk disparitas hukum yang sangat mencolok,” ujar Julius.

Pada 2007 silam, Alex Denni bersama Direktur SDM dan Bisnis Pendukung (Niskung) PT Telkom Indonesia Tbk Agus Utoyo dan Asisten Kebijakan SDM pada Direktorat SDM Niskung Telkom Tengku Hedi Safinah diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung atas tindak pidana korupsi pada proyek pengadaan jasa konsultan analisis jabatan atau Proyek DJM (Distinct Job Manual) di Telkom yang dilaksanakan pada 2003-2004.

Kejanggalan dimulai ketika pemeriksaan perkara dilakukan secara terpisah pada tingkat Banding. Oleh Pengadilan Tinggi Bandung, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan dengan dasar bahwa proses pengadaan berjalan secara sah tanpa penyalahgunaan kewenangan.

Namun, putusan Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Alex Denni berbeda. Alex Denni justru dinyatakan bersalah dan menguatkan putusan tingkat pertama.

Lebih aneh lagi katanya, eksekusi terhadap putusan kasasi baru dilakukan 11 tahun setelahnya, yaitu pada 2024. Padahal selama itu Alex aktif di berbagai institusi strategis, termasuk sebagai Deputi di Kementerian BUMN dan KemenPAN-RB.

Momentum Perbaikan Sistem Peradilan

Lebih lanjut, Alex menyebut pengajuan PK ini bukan sekadar upaya pembelaan diri, tetapi langkah untuk memicu koreksi total terhadap sistem peradilan di Indonesia. Ia berharap keputusannya dapat membuka jalan bagi ribuan korban kriminalisasi lainnya.

Adapun Alex telah menjalani hukumannya di Lapas Sukamiskin sejak pertengahan 2024 lalu. Namun, ia sejatinya telah menjadi korban kriminalisasi selama hampir 20 tahun.

“Saya tidak ingin generasi muda melihat keadilan sebagai sesuatu yang mustahil. Maka saya lawan, saya ajukan PK, dan saya buktikan bahwa kebenaran bisa dimenangkan,” jelasnya.

Alex juga berterima kasih kepada PBHI, tiga ahli pidana, Komisi III DPR RI, dan 33 tokoh masyarakat yang menjadi sahabat pengadilan (amicus curiae) dalam proses PK-nya. Ia menilai kolaborasi ini membuktikan bahwa keadilan bisa ditegakkan jika publik ikut bersuara.