Makroekonomi

Chatib Basri: Kebijakan Tarif Trump Bisa Picu Great Depression Kedua

  • Menurut Chatib, Depresi Besar yang mengguncang dunia hampir satu abad lalu disebabkan oleh kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
289671007_513587517117821_383943332869513148_n.jpg
Eks Menkeu Chatib Basri (Instagram.com/@chatibbasri)

JAKARTA – Ekonom senior Chatib Basri mengingatkan potensi krisis ekonomi global akibat menguatnya kembali kebijakan perdagangan proteksionis, terutama dari Amerika Serikat. Dalam pernyataannya, Chatib menyoroti kemiripan kondisi saat ini dengan era Depresi Besar (Great Depression) pada 1930-an.

Menurut Chatib, Depresi Besar yang mengguncang dunia hampir satu abad lalu dipicu oleh kebijakan tarif impor tinggi yang diterapkan oleh sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.

"Oleh sebab itu, orang kemudian bicara, ini bahaya sekali—kebijakan Trump bagi ekonomi global," ujar Chatib Basri yang juga merupakan Anggota Dewan Ekonomi Nasional, saat memberikan kuliah umum yang disiarkan melalui kanal YouTube FEB UI, dikutip Kamis, 15 Mei 2025.

Ia menyoroti langkah Presiden AS saat itu, Donald Trump, yang memicu perang dagang dengan menaikkan tarif impor. Rata-rata tarif perdagangan AS disebut meningkat menjadi 22,5%, tertinggi sejak tahun 1909.

Lebih lanjut, Chatib menjelaskan tentang sejarah Smoot-Hawley Tariff Act, sebuah undang-undang yang diberlakukan pada awal 1930-an untuk melindungi industri dalam negeri AS. Namun, kebijakan ini justru memicu aksi balasan dari negara lain dan menciptakan spiral penurunan perdagangan global yang memperparah krisis ekonomi saat itu.

"Itulah yang menjelaskan mengapa Great Depression tahun 1930 bisa terjadi," ujarnya menambahkan.

Peringatan dari Chatib menjadi pengingat penting bagi para pembuat kebijakan global untuk berhati-hati dalam menerapkan proteksionisme ekonomi yang berpotensi menimbulkan dampak luas dan merugikan secara kolektif.

Smoot-Hawley Tariff Act dan Depresi Besar: Krisis yang Diperparah Proteksionisme

Pada awal abad ke-20, dunia menghadapi salah satu krisis ekonomi terburuk dalam sejarah, yakni Great Depression atau Depresi Besar, yang berlangsung dari tahun 1929 hingga akhir 1930-an.

Di tengah krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat menerapkan kebijakan proteksionis yang sangat kontroversial, yaitu Smoot-Hawley Tariff Act. Undang-undang ini disahkan pada tahun 1930 oleh Senator Reed Smoot dan Anggota DPR Willis C. Hawley, dengan tujuan melindungi industri dan pertanian domestik dari persaingan asing melalui kenaikan tarif impor terhadap lebih dari 20.000 jenis produk luar negeri.

Alih-alih menyelamatkan industri dalam negeri, kebijakan ini justru memicu aksi balasan dari negara lain. Tarif balasan tersebut membuat ekspor AS anjlok drastis, dan para petani serta pelaku industri domestik mengalami kesulitan menjual produk mereka ke luar negeri. Perdagangan internasional pun mengalami kontraksi besar-besaran.

Penurunan tajam dalam perdagangan global memperburuk kondisi ekonomi yang memang sudah tertekan akibat kehancuran pasar saham pada Oktober 1929—peristiwa yang dikenal sebagai Black Tuesday.

Beberapa faktor lain yang turut memperparah krisis antara lain adalah spekulasi berlebihan di pasar saham tanpa regulasi memadai, ketimpangan distribusi kekayaan. Menurunnya daya beli masyarakat, kebijakan moneter yang terlalu ketat, kegagalan sistem perbankan.

Dampaknya sangat menghancurkan. Tingkat pengangguran di AS mencapai lebih dari 25%, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal, serta banyak perusahaan di sektor industri dan perbankan bangkrut. Ketimpangan sosial memburuk dan menciptakan ketidakstabilan di berbagai negara.

Kebijakan Smoot-Hawley dianggap sebagai salah satu penyebab utama memburuknya krisis karena menciptakan hambatan perdagangan yang mempercepat penyebaran krisis ke seluruh dunia. Saat dunia membutuhkan kolaborasi global untuk pemulihan, proteksionisme justru menciptakan isolasi dan menurunkan kepercayaan antarnegara.

Dari pengalaman ini, dunia belajar bahwa proteksionisme berlebihan dapat membawa kerugian besar. Stabilitas ekonomi global memerlukan kerja sama lintas negara, serta kebijakan fiskal dan moneter yang terkoordinasi.

Krisis ini juga menjadi salah satu pendorong lahirnya reformasi sistem keuangan dan pembentukan lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia pasca-Perang Dunia II.

Kisah Smoot-Hawley dan Great Depression menjadi pelajaran penting: dalam menghadapi krisis global, isolasi bukan solusi. Kolaborasi dan solidaritas internasional adalah kunci menuju pemulihan yang berkelanjutan.