Tarif Trump Goncang Ekonomi Global, IMF Jadi Penyelamat Negara Berkembang
- Dalam situasi perang dagang ini, IMF menjadi tumpuan bagi banyak negara berkembang.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat tajam pada tahun 2025, turun menjadi 2,8% dari yang tadinya 3,3% pada tahun sebelumnya.
Prediksi ini menandai proyeksi terburuk sejak pandemi COVID-19, dan salah satu penyebab utama adalah kebijakan tarif tinggi Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump.
AS kini memberlakukan tarif impor tertinggi dalam satu abad, dengan beban paling besar dialami oleh China, tarif mencapai 145% terhadap produk asal Negeri Tirai Bambu. China pun membalas dengan tarif 125% atas produk AS, memicu kebuntuan dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan merosot dari 2,8% pada 2024 menjadi 1,8% pada tahun 2025, didorong oleh lonjakan biaya impor dan tekanan inflasi. China juga tak luput, dengan proyeksi pertumbuhan yang diturunkan menjadi hanya 4%.
Meski situasi penuh ketegangan, Trump tetap optimistis akan tercapai kesepakatan dagang dengan China dan banyak negara lain. Pekan lalu Trump bahkan menunda kenaikan tarif selama 90 hari untuk memberi ruang negosiasi. Penundaan ini bertepatan dengan pertemuan IMF dan Bank Dunia.
Pasar saham merespons komentar Trump secara positif. Indeks S&P 500 melonjak 2,5%, dengan saham Amazon dan Nvidia naik 3%, serta Apple naik 2%.
Negara Berkembang Bergantung ke IMF
Dalam situasi penuh ketidakpastian ini, IMF menjadi tumpuan bagi banyak negara berkembang. Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, menyatakan bahwa saat ini ada 48 negara yang bergantung pada dukungan IMF untuk menyeimbangkan neraca pembayaran mereka. Argentina menjadi penerima program terbesar.
"Saat ini, 48 negara mengandalkan dukungan neraca pembayaran IMF, termasuk Argentina, yang reformasi berorientasi pasarnya didukung oleh program terbaru dan terbesar kami," ungkap Georgieva dalam keterangan resminya, dikutip dari situs IMF, Rabu, 23 April 2026.
Total utang Argentina saat ini mencapai US$ 41,11 miliar. Jika dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp16.300 per dolar AS, jumlahnya mencapai sekitar Rp666,43 triliun.
Dana pinjaman tersebut sebagian besar digunakan oleh pemerintah Argentina untuk menstabilkan inflasi dan merespons krisis mata uang yang terus membebani perekonomian nasional.
Sebelumnya, Argentina pernah mengalami gagal bayar saat negosiasi pembayaran utang luar negeri pada Mei 2020. Terbaru, IMF memberikan kelonggaran dengan menunda peninjauan terakhir atas pinjaman senilai US$ 44 miliar selama dua bulan.
Penundaan ini bertujuan memberi ruang bagi Argentina untuk melaksanakan reformasi ekonomi yang diperlukan dan menyusun program pinjaman baru dengan lembaga keuangan internasional tersebut.
Georgieva menekankan bahwa negara berkembang tengah menghadapi tekanan besar akibat gejolak nilai tukar, tingginya utang luar negeri, dan minimnya investasi asing. IMF mendorong fleksibilitas nilai tukar dan restrukturisasi utang sebagai upaya menjaga keberlanjutan fiskal.
"Sebagian besar negara harus mengambil tindakan fiskal yang tegas untuk membangun kembali ruang kebijakan, dengan menetapkan jalur penyesuaian bertahap yang menjaga kerangka fiskal. Namun, beberapa negara mungkin mengalami guncangan yang memerlukan dukungan fiskal baru," tambah Georgieva.
Georgieva juga memperingatkan tentang risiko ketidakseimbangan ekonomi global, terutama terkait tabungan dan investasi nasional. Ketidakseimbangan ini dapat memicu arus modal yang tidak stabil dan memperbesar potensi krisis.
Negara pemilik mata uang cadangan seperti AS memiliki keleluasaan mencetak defisit, sementara negara berkembang harus berjuang keras menjaga stabilitas ekonomi mereka.
IMF menyerukan agar semua negara menjalankan kebijakan ekonomi yang bertujuan mencapai keseimbangan internal dan eksternal. Tujuan akhirnya adalah memperkuat ketahanan global dan mendorong kesejahteraan bersama di tengah tantangan geopolitik dan ekonomi yang kian kompleks.

Ananda Astridianka
Editor
