Fintech

Riset: Industri Fintech dan Bank Digital Masih Perlu Konsolidasi

  • Dikutip dari riset Algo Research berjudul M&A In The Digital Banking Sector, disebutkan bahwa industri perbankan di Indonesia terus mengalami konsolidasi sebagai respons terhadap persaingan yang semakin ketat, peningkatan persyaratan modal dari regulator, dan kebutuhan akan efisiensi biaya.
BABAK BARU BANK DIGITAL.jpg
Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia (TrenAsia.com)

JAKARTA – Hasil riset Algo Research mengemukakan bahwa fintech dan bank digital masih memerlukan konsolidasi untuk memperkuat posisinya di industri. 

Dikutip dari riset Algo Research berjudul M&A In The Digital Banking Sector, disebutkan bahwa industri perbankan di Indonesia terus mengalami konsolidasi sebagai respons terhadap persaingan yang semakin ketat, peningkatan persyaratan modal dari regulator, dan kebutuhan akan efisiensi biaya. 

Hal ini mendorong terjadinya Merger & Acquisition (M&A) antara bank-bank kecil dan menengah dengan bank-bank yang lebih besar. 

Persaingan yang tinggi tercermin dari pangsa pasar signifikan yang dimiliki oleh 10 bank teratas, menyisakan sedikit ruang bagi bank-bank lain untuk bersaing.

Tahun 2023 menjadi periode sibuk untuk M&A di sektor perbankan konvensional. Salah satu transaksi terbaru adalah akuisisi 99% saham bank Commonwealth oleh PT OCBC NISP Tbk (NISP) senilai Rp2,2 triliun dengan kelipatan Price to Book Value (PBV) yang relatif rendah, yaitu 0,5x. 

PT Bank Danamon Tbk (BDMN) juga sedang dalam proses pembelian portofolio konsumer Standard Chartered Bank senilai Rp 1 triliun, sementara PT Bank UOB Indonesia telah menyelesaikan akuisisi bisnis konsumer Citibank Indonesia.

Hasil riset pun menyoroti tren divestasi dilakukan oleh bank-bank asing Barat di Indonesia sementara bank-bank asing Asia agresif dalam ekspansi. 

Namun, sektor fintech/bank digital masih tertinggal dalam hal M&A. Beberapa aksi korporasi terkini melibatkan investasi Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) sebesar Rp3 triliun 

“Lebih banyak M&A diperlukan terutama karena para pemegang saham menuntut pengembalian investasi mereka baik melalui profitabilitas organik (yaitu PHK tetapi dengan mengorbankan pertumbuhan) atau secara anorganik sebagai opsi keluar,” tulis Algo Research dalam risetnya, dikutip Rabu, 13 Desember 2023.

Dengan PT Bank Jago Tbk (ARTO) mendapatkan keuntungan dari pergeseran fokus PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan persaingan yang lebih ketat di bisnis fintech, perusahaan-perusahaan seperti PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB), PT Bank Raya Tbk (AGRO), atau PT Allo Bank Tbk (BBHI) akan merasakan dampaknya.

Industri fintech dan bank digital dihadapkan pada kebutuhan untuk melakukan konsolidasi sebagai respons terhadap sejumlah tantangan ekonomi. 

Daya beli yang rendah di kalangan menengah ke bawah, kenaikan suku bunga yang mengakibatkan biaya dana meningkat, penindakan terhadap pemberi pinjaman ilegal, dan kekurangan likuiditas menjadi pemicu utama bagi pemain sektor ini untuk menjalankan proses konsolidasi. 

Saat ini, terdapat sekitar 100 perusahaan fintech, turun dari lebih dari 150 beberapa tahun yang lalu, dengan total aset mencapai Rp7,4 triliun, tanpa menyertai bank digital.

Pertumbuhan pinjaman di sektor fintech melambat, hanya mencapai 14% secara tahunan pada bulan September 2023, dibandingkan dengan pertumbuhan lebih dari 50% pada tahun sebelumnya. 

Hal ini menunjukkan penurunan permintaan pinjaman fintech akibat aktivitas ekonomi yang melambat dan biaya tinggi bagi konsumen, terutama karena tingkat bunga yang tinggi dan biaya tambahan pada pinjaman, yang dalam beberapa kasus dapat mencapai dua atau tiga kali lipat dari jumlah pinjaman.

“Hal ini mengindikasikan bahwa permintaan untuk pinjaman fintech berkurang karena aktivitas ekonomi yang lebih lambat dan biaya yang tinggi bagi konsumen mengingat tingkat bunga yang sangat tinggi dan biaya yang dibebankan pada pinjaman (dalam beberapa kasus, total biaya mencapai dua kali lipat / tiga kali lipat dari jumlah pinjaman),” tulis Algo Research.

Kualitas pinjaman juga menunjukkan penurunan, terutama pada segmen korporasi, seperti UKM, untuk tujuan kredit produktif. Meskipun stagnan sepanjang tahun 2023, penurunan kualitas kredit memberikan dampak yang signifikan.

Para pemain fintech sebagian besar bertindak sebagai perantara untuk menyalurkan pinjaman, banyak dari mereka yang membeli bank-bank konvensional dan mengubahnya menjadi "bank digital" seperti BBYB atau PT Bank Amar Indonesia Tbk (AMAR) agar mereka dapat memiliki ekosistem sendiri untuk mengembangkan penyaluran kredit mereka. 

Namun, kelemahannya muncul ketika kualitas pinjaman fintech menurun, dan bank digital turut menanggung risiko terpapar pada pinjaman subprime. Untuk diketahui, sekitar 50% dari total pendanaan fintech berasal dari perbankan.

Bank digital juga bersaing secara langsung dengan bank konvensional untuk menarik deposito nasabah, sementara kenaikan suku bunga meningkatkan biaya dana secara signifikan. 

Hal ini mengurangi margin bagi bank digital, terutama karena sulit menaikkan suku bunga pada pinjaman konsumtif. Regulasi untuk menurunkan suku bunga pinjaman memberikan batasan tambahan pada margin pemain digital.

Meskipun pengurangan biaya dan pemutusan hubungan kerja telah dimulai sejak 2022, prospek bisnis tetap suram, menghalangi pemegang saham untuk menyuntikkan modal baru. 

“Melalui M&A, bank-bank fintech/digital ini dapat mencapai efisiensi dan skala yang lebih besar di masa mendatang dan pada saat yang sama memungkinkan para investor untuk menarik investasinya,” tulis Algo Research