Tren Global

Tentara Bayaran Kolombia Jadi Komoditas Paling Dicari dalam Perang Ireguler Moderen

  • Mereka memiliki banyak pengalaman tempur dan mereka adalah prajurit yang sangat andal.
colombia.jpeg

JAKARTA, TRENASIA.ID- Kehadiran tantara bayaran Kolombia di Sudan menjadi sorotan minggu lalu, setelah Sudan mengajukan keluhan resmi kepada Dewan Keamanan PBB, menuduh Uni Emirat Arab (UEA) membiayai dan mengerahkan tentara bayaran Kolombia untuk berperang dalam konflik tersebut.

Dalam surat kepada PBB, otoritas militer Sudan menyatakan telah mengumpulkan bukti ekstensif tentang kampanye sistematis UEA untuk merusak perdamaian, keamanan, dan kedaulatan Sudan. 

Upaya yang dilakukan  melalui perekrutan, pembiayaan, dan pengerahan tentara bayaran untuk bertempur bersama Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Sebuah kelompok paramiliter yang melawan militer Sudan. Abu Dhabi membantah tuduhan tersebut.

Dikutip dari Middle East Eye Selasa 23 September 2023, bulan lalu angkatan udara Sudan menembak jatuh sebuah pesawat milik UEA yang membawa 40 tentara bayaran Kolombia, serta pengiriman senjata dan peralatan yang diduga ditujukan untuk digunakan oleh RSF.  

Pesawat itu ditembak jatuh pada 7 Agustus saat mendekati bandara di wilayah Darfur yang dikuasai RSF. Para tentara bayaran di dalamnya dilaporkan meninggal . UEA membantah terlibat. Kementerian Luar Negeri Kolombia tidak menanggapi permintaan komentar.

Keterlibatan tentara bayaran Kolombia dalam konflik tersebut dikonfirmasi oleh para ahli PBB dalam laporan bulan April. Tetapi hal ini bukanlah hal baru. Ratusan veteran tentara Kolombia telah direkrut oleh perusahaan keamanan swasta untuk berperang dalam perang saudara di Sudan.

Sudan telah dilanda gejolak kekerasan sejak April 2023. Ketika ketegangan yang telah lama membara antara tentara nasional dan paramiliter RSF meletus menjadi pertempuran terbuka yang kemudian berubah menjadi perang saudara yang menghancurkan.

Korban jiwa akibat konflik ini diperkirakan berkisar antara  20.000 hingga 150.000 jiwa . Konflik ini telah memaksa lebih dari 14 juta  orang meninggalkan rumah mereka, dan mendorong sebagian wilayah negara itu ke  ambang kelaparan .

Sifat sektor tentara bayaran yang tidak jelas membuat sulit untuk mengukur jumlah tentara sewaan yang diyakini bertempur di Sudan.  Menurut  penyelidikan oleh media Kolombia La Silla Vacia, hingga 380 tentara bayaran Kolombia telah dikerahkan ke Sudan untuk bertugas bersama RSF sejak 2024.

Sebagian besar bertugas dalam batalyon yang dikenal sebagai Desert Wolves Serigala Gurun. Mereka terdiri dari empat kompi terpisah yang seluruhnya terdiri dari personel militer Kolombia yang sudah pensiun. 

Sean McFate, profesor di National Defense University di Washington DC, kepada Middle East Eye mengatakan  orang Kolombia sangat berharga. Mereka memiliki banyak pengalaman tempur dan mereka adalah prajurit yang sangat andal. “Mereka mematuhi rantai komando, memiliki disiplin yang baik, dan biayanya seperempat dari biaya tentara bayaran Amerika,” katanya kepada Middle East Eye.

Tentara bayaran Kolombia telah menjadi salah satu komoditas yang paling dicari dalam peperangan ireguler modern. Konflik internal negara yang telah berlangsung puluhan tahun melawan gerilyawan dan kartel narkoba telah menghasilkan pasokan veteran yang tangguh dan siap tempur.

Bagi Kolombia, masalahnya bersifat domestik. Banyak mantan tentara beralih ke pekerjaan tentara bayaran untuk bertahan hidup. Dana pensiun militer di negara itu relatif kecil. Banyak veteran menerima  antara US$400 hingga US$600 per bulan ata antara Rp7-10 juta (kurs Rp16.400). 

Sebaliknya, pekerjaan tentara bayara dapat menghasilkan pendapatan antara  US$2.600 hingga US$6.000 atau sekitar Rp100 juta per bulan. Pekerjaan ini sering ditawarkan melalui grup WhatsApp di kalangan veteran. 

Dengan sedikitnya kesempatan kerja sipil dan seringnya kesulitan untuk kembali berintegrasi ke dalam ritme kehidupan sipil, daya tarik gaji di luar negeri, bahkan di zona perang, sulit ditolak oleh banyak veteran.

Dunia kerja tentara bayaran dipandang secara internal sebagai sebuah peluang. Ketika pemerintah tidak menciptakan peluang bagi mantan anggota angkatan bersenjata, mereka harus mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka. “Hal ini menjadikan mereka melihatnya sebagai alternative,” kata Jose Angel Espinosa, mantan sersan di Angkatan Darat Kolombia yang kini memimpin sebuah asosiasi veteran.

Espinosa  mengatakan mereka dilatih semata-mata dan eksklusif untuk tujuan konflik.  Dan tidak memberi kami proses apa pun untuk reintegrasi ke dalam masyarakat.  Ini menjadika mereka meninggalkan pasukan dengan pola pikir perang. Dan itulah satu-satunya hal yang telah mereka latih. 

Selain itu lebih dari 22.000 anggota pasukan keamanan nasional Kolombia telah pensiun secara sukarela  dari dinas sejak Presiden Gustavo Petro menjabat pada tahun 2022. Situasi ini menyediakan pasokan tetap calon pejuang bagi perekrut dan penghasut perang.

Katherin Galindo, seorang analis politik Kolombia mengatakan selama beberapa tahun terakhir telah terjadi demoralisasi di kalangan pasukan keamanan akibat bentrokan antara pemerintah, cabang eksekutif, dan angkatan bersenjata.  Salah satu tindakan pertama Petro setelah menjabat adalah  mengganti seluruh pimpinan militer. Langkah yang jelas-jelas menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pasukan keamanan.

Mereka yang direkrut untuk bergabung dengan Desert Wolves dipekerjakan melalui perusahaan keamanan swasta Kolombia yang dikontrak oleh perusahaan Emirat, Global Security Services Group. Operasi batalyon tersebut dipimpin oleh seorang pensiunan jenderal tentara Kolombia yang bertugas di Dubai. 

Banyak rekrutan yang disesatkan tentang sifat pekerjaan mereka. Awalnya dikontrak untuk menjaga fasilitas minyak Emirat atau melatih pasukan. Mereka justru ditipu untuk bertempur di garis depan perang saudara Sudan.

Menurut La Silla Vacia  tentara bayaran Kolombia yang menuju Sudan biasanya mengikuti rute yang dimulai di Abu Dhabi. Dari sana mereka akan terbang ke Benghazi di Libya utara . Di sana, kontak militer Libya menyita paspor mereka dan mencegah mereka kembali sampai mereka menyelesaikan perjalanan untuk bergabung dengan RSF di Sudan.

Ketika jalur itu menjadi lebih dikenal luas beberapa mulai mengambil rute alternative. Mereka berangkat dari Madrid ke Ethiopia. Kemudian menuju ke kota pelabuhan Somalia Bosaso sebelum terbang ke ibu kota Chad, N'Djamena, dan akhirnya mendarat di Nyala. Sebuah kota yang dikuasai RSF di Darfur.

Sejarah Keterlibatan

Partisipasi tentara bayaran Kolombia dalam konflik internasional  bukanlah perkembangan baru .   Yang paling menonjol, sekitar 20 warga Kolombia terlibat dalam pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moïse pada tahun 2021. Ratusan warga Kolombia juga  saat ini bertempur di Ukraina. Sementara beberapa lainnya  bertugas dalam perang saudara di Libya tahun 2011 , Afghanistan , dan Irak . 

Ini bukan pertama kalinya UEA terlibat dengan tentara bayaran Kolombia. Pada tahun 2015, UEA mengontrak ratusan tentara untuk melawan kelompok Houthi di Yaman. Menurut McFate UEA adalah konsumen besar jasa tentara bayaran. “Mereka memiliki dana yang besar dan kepentingan geopolitik untuk menjadi hegemon regional di Timur Tengah dan di beberapa wilayah Afrika Utara.”

Tentara bayaran adalah cara murah untuk mewujudkan kepentingan tersebut. Ada permintaan dari RSF, ada uang dari UEA, dan ada pasokan dari Kolombia.  

Kehadiran tentara bayaran melemahkan upaya perdamaian. Penggunaan mereka memungkinkan aktor negara,  untuk mempertahankan penyangkalan yang masuk akal sekaligus mempertahankan konflik secara tidak langsung. Hal ini juga mempersulit pertanggungjawaban atas kejahatan perang, karena tentara bayaran seringkali beroperasi di luar yurisdiksi nasional atau internasional.

Presiden Petro berjanji untuk mengesahkan rancangan undang-undang yang melarang perekrutan dan keterlibatan tentara bayaran Kolombia dalam konflik di luar negeri. Juga meluncurkan penyelidikan terhadap masalah tersebut sebagai akibat dari pesawat Emirat yang ditembak jatuh bulan lalu. 

Ia mengecam keterlibatan tentara bayaran Kolombia di luar negeri dan menyebut praktik tersebut sebagai perdagangan manusia yang diubah menjadi komoditas untuk dibunuh. 

Meskipun demikian, upaya semacam itu – baik dari Kolombia, negara lain, atau lembaga internasional – tidak mungkin mampu mengatasi industri tersebut secara efektif. Undang-undang ini tidak menyelesaikan akar permasalahan mengapa mantan prajurit menerima proposal ini. Yakni yang terkait dengan masalah struktural kompensasi serta situasi moral dan psikologis mantan prajurit kita, yang tidak ditangani oleh kerangka kerja ini.

McFate menambahkan sangat sulit bagi pemerintah untuk melacak hal ini. “Dan  PBB, terus terang, hanyalah lelucon dalam hal tentara bayaran. Industri ini sangat sulit diatur,” katanya.