Tren Global

KPK Tangkap Bupati Bekasi dan Masalah Sistemik Korupsi Pejabat Muda

  • Penangkapan Bupati Bekasi oleh KPK membuka kembali diskursus korupsi di kalangan pejabat muda dan persoalan sistem politik.
WhatsApp Image 2023-11-06 at 11.19.35.jpeg
Gedung Merah Putih KPK (Foto: Khafidz Abdulah/Trenasia) (Foto: Khafidz Abdulah/Trenasia))

JAKARTA, TRENASIA.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada 18 Desember 2025. 

Dalam operasi tersebut, penyidik KPK mengamankan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, bersama sekitar 10 orang lainnya. Ruang kerja bupati turut disegel sebagai bagian dari proses pengumpulan barang bukti.

OTT ini tercatat sebagai operasi ke-10 KPK sepanjang 2025, menegaskan praktik korupsi di tingkat daerah masih menjadi persoalan serius. Hingga kini, KPK masih melakukan pemeriksaan intensif dan memiliki waktu 1x24 jam untuk menentukan status hukum pihak-pihak yang diamankan sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Meski KPK belum mengumumkan secara rinci kasus atau dugaan tindak pidana korupsi yang menjerat Ade Kuswara Kunang, perhatian publik terlanjur tertuju pada sosok kepala daerah tersebut. 

Laporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencatat kekayaan Ade mencapai sekitar Rp79,1 miliar, angka yang kini ikut menjadi sorotan setelah OTT berlangsung.

Baca juga : Kanal Debottlenecking Dibuka, Ini Cara Pebisnis Laporkan Kendala Usaha

Fenomena Pejabat Muda Terseret Korupsi

Kasus Bupati Bekasi ini kembali membuka diskursus lama mengenai korupsi di kalangan pejabat muda. Usia relatif muda kerap diasosiasikan dengan semangat perubahan dan idealisme, namun sejumlah kasus menunjukkan bahwa faktor usia bukan jaminan integritas.

Sejumlah kepala daerah dan politisi muda sebelumnya juga terciduk dalam perkara korupsi. Salah satu kasus paling mencolok adalah Nur Afifah Balqis, Bendahara DPC Partai Demokrat Penajam Paser Utara, yang ditangkap KPK pada 2022 saat berusia 24 tahun. 

Ia diduga berperan menampung dan mengelola aliran uang suap terkait proyek dinas di Kabupaten Penajam Paser Utara, sehingga dijuluki sebagai koruptor termuda dalam sejarah penindakan KPK.

Dalam perkara yang sama, Abdul Gafur Mas’ud, Bupati Penajam Paser Utara, turut ditangkap KPK pada usia 34 tahun. Abdul Gafur dikenal sebagai kepala daerah muda yang terpilih menjadi bupati saat usianya belum genap 31 tahun. 

Namun, citra tersebut runtuh setelah ia terbukti menerima suap terkait proyek dan perizinan. Kasus ini menjadi contoh bagaimana kekuasaan yang datang terlalu cepat tanpa fondasi integritas yang kuat justru membuka ruang penyimpangan.

Kasus serupa juga terjadi pada M. Syahrial, Wali Kota Tanjungbalai, yang ditangkap KPK pada 2016 saat berusia 33 tahun. Ironisnya, Syahrial sebelumnya sempat memperoleh rekor MURI sebagai wali kota termuda di Indonesia. 

Ia tertangkap tangan menerima suap terkait pengamanan perkara di Kejaksaan, mempertegas bahwa popularitas dan usia muda tidak otomatis berbanding lurus dengan kepemimpinan yang bersih.

Di tingkat nasional, nama Wa Ode Nurhayati, anggota DPR RI termuda saat itu, juga menjadi sorotan. Pada usia sekitar 30 tahun, ia terlibat dalam kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID).

 Kasus ini menunjukkan bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di level eksekutif daerah, tetapi juga mengakar di lembaga legislatif, termasuk di kalangan politisi muda yang baru menanjak.

Selain itu, publik juga mencatat kasus Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, yang meski tidak lagi tergolong sangat muda saat diproses hukum, namun merupakan simbol naiknya politisi dengan karier cepat dan citra reformis yang akhirnya runtuh akibat kasus korupsi proyek Hambalang. 

Begitu pula Mardani H. Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, yang menjabat kepala daerah di usia relatif muda dan kemudian ditetapkan sebagai tersangka KPK dalam kasus dugaan suap perizinan tambang.

Baca juga : Riset Setahun MBG, 34,2 Persen Anggaran Potensi Salah Sasaran

Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

Dikutip laman media asal Jerman, DW, Jumat, 19 Desember 2025, maraknya kasus korupsi di kalangan politisi muda lebih disebabkan oleh persoalan sistemik. 

Banyak politisi muda masuk ke arena kekuasaan melalui jalur instan, baik karena kekuatan modal, kedekatan dengan elite, maupun dinasti politik, tanpa proses kaderisasi dan pembentukan karakter yang matang.

Selain itu, tekanan sistem politik yang tidak sehat menjadi salah satu faktor utama yang mendorong lahirnya praktik korupsi di kalangan politisi, termasuk politisi muda. 

Sistem kepartaian yang tidak demokratis serta proses pemilu yang sarat dengan politik uang menciptakan aturan main yang koruptif sejak awal. Dalam situasi seperti ini, politisi muda yang ingin bertahan dan melanjutkan karier politiknya kerap berada pada posisi dilematis.

 Mereka sering kali merasa “terpaksa” mengikuti praktik-praktik menyimpang agar tidak tersingkir, tidak dikucilkan oleh elite partai, atau kehilangan dukungan politik yang menentukan masa depan karier mereka.

Di sisi lain, minimnya role model yang bersih dan berintegritas memperparah persoalan tersebut. Ketika lingkungan politik didominasi oleh praktik korup, politisi muda cenderung meniru pola perilaku para pendahulunya yang dianggap sebagai hal lumrah atau bahkan sebagai “kebutuhan sistem”. 

Lemahnya pembentukan karakter serta kurang kuatnya pendidikan nilai-nilai integritas dan anti-korupsi sejak dini membuat mereka tidak memiliki benteng moral yang kokoh. Akibatnya, budaya korupsi terus berulang dan diwariskan lintas generasi, alih-alih diputus melalui pembaruan etika dan tata kelola politik yang sehat.