Instagram vs Realita Bali, Antara Pesona dan Kekacauan
- Bali, yang dulunya dikenal sebagai surga yang tenang dengan pantai yang damai, hijau yang subur, dan kekayaan budaya, kini menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Setiap tahun, jutaan wisatawan datang ke pulau tropis ini untuk mencari keindahan yang tenang seperti yang mereka lihat di Instagram. Namun bagi banyak orang, kenyataannya jauh dari impian.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Bali dan Instagram seolah tak terpisahkan. Mengabadikan foto sempurna telah menjadi hal wajib bagi banyak wisatawan, dan wajar saja. Dengan pemandangan yang menakjubkan, air terjun yang memukau, pura yang megah, dan resort yang stylish, pulau ini bak galeri sorotan yang siap untuk dibagikan.
Tapi, apa yang kamu lihat di internet tidak selalu mencerminkan kenyataan. Banyak foto indah itu telah difilter, diatur, atau diedit agar terlihat lebih menakjubkan daripada aslinya. Memang ada orang yang membagikan foto tanpa filter yang menangkap keindahan alami Bali.
Namun banyak juga yang mengandalkan Photoshop, sudut pengambilan gambar yang cerdik, dan pencahayaan yang tepat untuk menciptakan gambar yang tidak sepenuhnya nyata. Bali, yang dulunya dikenal sebagai surga yang tenang dengan pantai yang damai, hijau yang subur, dan kekayaan budaya, kini menjadi korban dari kesuksesannya sendiri.
Setiap tahun, jutaan wisatawan datang ke pulau tropis ini untuk mencari keindahan yang tenang seperti yang mereka lihat di Instagram. Namun bagi banyak orang, kenyataannya jauh dari impian. Dilansir dari Travel and Tour World, seiring bertambahnya jumlah pengunjung, popularitas Bali menimbulkan kepadatan, meningkatnya polusi, dan kemacetan, membuat banyak wisatawan merasa kecewa.
Apa yang dulu menjadi tempat pelarian yang tenang kini terasa lebih seperti destinasi yang sibuk dan komersial. Para pelancong yang berharap mendapatkan ketenangan justru harus menghadapi antrean panjang, tempat wisata yang padat, dan kebisingan konstruksi seiring pulau ini terus berkembang untuk memenuhi permintaan.
Bagi banyak wisatawan, Bali identik dengan pantai yang sempurna untuk foto, air terjun yang menakjubkan, dan sawah hijau yang memesona. Versi ideal ini sering ditampilkan di media sosial, di mana influencer dan wisatawan membagikan momen-momen cantik yang sudah dikurasi. Namun, begitu pengunjung mendarat di pulau ini, kenyataan mulai terasa.
Seorang wisatawan yang datang ke Bali untuk pertama kali mungkin membayangkan menemukan tempat sepi di tepi pantai atau kafe tenang di tengah hutan. Nyatanya, mereka sering kesulitan menemukan ketenangan di tengah kerumunan pengunjung lainnya.
Destinasi terkenal seperti Uluwatu, Seminyak, dan Canggu kini dipadati wisatawan, sementara jalan-jalan yang dulu tenang berubah menjadi zona lalu lintas yang padat dan kacau.
Banyak wisatawan yang datang mencari ketenangan seperti yang dijanjikan di unggahan media sosial, justru terkejut dengan banyaknya orang dan dampak pariwisata massal. Pengalaman yang awalnya tampak menarik pun mulai terasa lebih seperti versi komersial dari apa yang mereka bayangkan.
Pengunjung menikmati matahari terbenam di restoran tepi pantai, sementara tangga reyot yang harus dilalui dipenuhi tumpukan sampah. Pose dengan bikini di depan air terjun, sementara antrean wisatawan panjang menunggu giliran di bebatuan yang licin.
Dilansir dari BBC, setiap tahun jutaan orang datang ke Bali mencari Shangri-La spiritual seperti yang dijanjikan dalam memoar dan film Eat, Pray, Love era 2000-an. Namun yang mereka temui justru kerumunan, kemacetan, dan kebisingan konstruksi, yang meningkat seiring booming pariwisata pasca-pandemi.
Tekanan yang terus meningkat di pulau ini memang sudah menimbulkan banyak keluhan dan kekecewaan, namun bulan ini peristiwa yang terjadi lebih mengkhawatirkan. Lebih dari selusin orang meninggal akibat banjir di pulau tersebut. Menurut pejabat setempat, buruknya pengelolaan sampah dan pembangunan kota yang tak terkendali memperparah situasi.
Pemerintah lokal mengumumkan akan membatasi pembangunan baru. Namun banyak pihak menilai langkah ini terlambat dan tidak cukup. Meski begitu, penduduk setempat mengatakan bahwa pulau mereka memang telah berubah akibat tuntutan pariwisata.
Ketika mendengar keluhan bahwa Bali bukanlah surga seperti yang diharapkan wisatawan, beberapa orang menilai komentar itu penuh ironi. “Ketika wisatawan mengeluh karena Bali lebih ramai, mereka sendiri juga bagian dari keramaian itu,” kata I Made Vikannanda, peneliti asal Bali yang aktif dalam perlindungan alam dan masyarakat pulau ini.
“Seperti saat kita terjebak macet, kita bertanya ‘Kenapa macet sekali?’ Padahal kita sendiri sedang mengemudi. Kita yang menciptakan kemacetan itu,” tambahnya. Seiring meningkatnya pariwisata, hotel, kafe, dan bar mulai menyebar dari bagian selatan pulau yang padat.
Destinasi terbaru yang populer adalah Canggu, sebuah desa nelayan yang dulu sepi dan kini menjadi magnet bagi peselancar dari seluruh dunia. Canggu mengikuti jejak kawasan lain, dari Uluwatu hingga Seminyak, yang awalnya tenang namun berubah karena wisatawan mencari “permata tersembunyi” baru.
Pergerakan ini membuat kafe kekinian, gym, dan ruang kerja bersama bermunculan di sepanjang jalan pedesaan yang sempit. Pererenan, di utara, kini dipandang sebagai versi Canggu yang lebih santai. Lebih ke utara lagi, di hutan Ubud, resort memasarkan diri sebagai tempat pelarian dari keramaian di selatan.
“Ada dilema nyata di sini,” kata Hollie Marie, seorang kreator konten asal Inggris yang tinggal di Bali. “Di satu sisi, mendorong orang mengunjungi berbagai wilayah memang hal yang baik, tapi ada bahayanya juga, karena itu mendorong pembangunan di mana-mana.”
“Orang-orang memperlakukan Bali seperti taman bermain,” imbuhnya. Kepadatan wisatawan di Bali bukanlah satu-satunya masalah. Pertumbuhan pesat sektor pariwisata memberikan tekanan besar pada lingkungan pulau ini. Jalan-jalan macet, pantai dipenuhi sampah plastik, dan tempat-tempat alam populer mulai tercemar akibat tingginya jumlah pengunjung.
Sistem pengelolaan sampah di Bali kesulitan menanggapi lonjakan ini, sehingga sampah sering berakhir di laut dan daerah sekitarnya. Dampak lingkungan semakin terlihat, terutama di daerah seperti Ubud dan Kuta, di mana penduduk lokal dan aktivis lingkungan mengkhawatirkan bagaimana pembangunan yang tak terkendali merusak keindahan alam pulau ini.
Munculnya hotel, vila, dan kafe baru terus menempati lahan yang sebelumnya digunakan untuk sawah atau hutan. Wisatawan, meskipun berkontribusi pada perekonomian, secara tidak sengaja turut mempercepat kerusakan ini dengan terus mengunjungi lokasi yang sama setiap tahun. Banyak usaha lokal, mulai dari kafe kecil hingga resort mewah, bergantung pada arus wisatawan untuk bertahan.
Namun, tingginya permintaan akan pengalaman Bali telah mengubah pulau ini menjadi destinasi yang lebih komersial, di mana bisnis dan layanan lebih fokus memenuhi kebutuhan pariwisata massal daripada menjaga keaslian pulau.
Beberapa warga lokal memiliki perasaan campur aduk. Di satu sisi, pariwisata membawa kemakmuran, tetapi di sisi lain, hal ini meningkatkan biaya hidup dan menimbulkan frustrasi akibat pembangunan yang berlebihan.

Distika Safara Setianda
Editor
