Banjir Bali, Ketika Sektor Pertanian Dilindas Pariwisata
- Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan, banyaknya alih fungsi lahan persawahan dan daerah resapan air menjadi bangunan pariwisata telah memperlemah daya dukung lingkungan.

Distika Safara Setianda
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Baru-baru ini, pemerintah Provinsi Bali menetapkan status tanggap darurat bencana selama satu minggu menyusul lumpuhnya aktivitas kota. Hal ini dikarenakan Sejumlah wilayah Bali yang diterjang banjir besar pada Rabu, 10 September 2025.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menekankan, banyaknya alih fungsi lahan persawahan dan daerah resapan air menjadi bangunan pariwisata telah memperlemah daya dukung lingkungan.
Menurutnya, pembangunan yang tidak terkendali sering kali luput pengawasan ketat oleh pemerintah daerah. Izin pembangunan kerap diberikan meski kawasan tersebut termasuk daerah rawan bencana atau berada di zona resapan air.
Bali merupakan salah satu provinsi yang menjadi ikon pariwisata Indonesia, yang dikenal dengan potensi alamnya yang luar biasa indah dan kekayaan budayanya yang unik. Keunikan alam dan budayanya menjadi daya tarik utama bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Dilansir dari BPS Provinsi Bali, pada Juli 2024, jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung langsung ke Bali tercatat sebanyak 625.665, naik 20,11% dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 520.898 kunjungan.
Tentu saja lonjakan wisatawan tersebut mengakibatan meningkatnya permintaan terhadap jasa akomodasi, termasuk hotel dan penginapan lainnya.
Sebelum sektor pariwisata berkembang pesat, perekonomian masyarakat Bali bertumpu pada sektor pertanian. Namun, dalam beberapa dekade terakhir terjadi pergeseran peran, di mana sektor pariwisata menjadi sektor utama yang menjadi penopang utama perekonomian Bali karena perkembangannya sangat cepat.
Dilansir dari dlh.bulelengkab.go.id, perkembangan sektor pariwisata yang masif ini di banyak terjadi di Bali selatan, membuat masyarakat meninggalkan pertanian akibat selisih penghasilan yang jauh lebih besar di sektor pariwisata.
Dilansir dari distanpangan.baliprov.go.id, dalam artikel berjudul “Diantara Pariwisata dan Alih Fungsi Lahan Pertanian di Bali,” oleh I Wayan Suarjana S.TP, terdapat tantangan-tantangan yang harus dihadapi Bali kedepannya yang mencakup berkurangnya jumlah luas wilayah pertanian yang produktif akibat dari alih fungsi lahan.
Selain itu, berkurangnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian, serta menurunnya kapasitas lingkungan akibat berkurangnya debit air permukaan dan berbagai dampak lainnya.
Sistem Subak
Alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi ini dikhawatirkan menjadi ancaman daya tahan pangan di tengah meningkatnya jumlah penduduk. Selain itu juga mengancam keberlanjutan sistem irigasi tradisional Bali, yaitu subak.
Sistem Subak yang terganggu mengakibatkan ketersediaan air bersih untuk pertanian dan kehidupan sehari-hari masyarakat akan berkurang.
Setiap tahunnya, sekitar 700 hingga 1.000 hektare lahan pertanian Bali beralih fungsi menjadi perumahan, hotel, restoran, serta berbagai bangunan penunjang pariwisata dan sektor lain. Akibatnya, petani di Bali tidak lagi memiliki lahan yang luas.
Sementara, dilansir dari info.gptn.or.id, pada tahun 2023, tercatat alih fungsi lahan mencapai 3.895 hektar, dengan luas lahan pertanian kini berkurang menjadi 68.059 hektar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pada tahun 2017 luas sawah di Bali mencapai 78.626 hektare. Angka ini terus menurun seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan untuk akomodasi pariwisata, seperti hotel dan vila.
Lahan pertanian yang semula berfungsi sebagai kawasan hijau dan area penampungan air kini telah diubah menjadi bangunan beton, yang menimbukan beberapa perubahan ekologis dan sosial.
Saat lahan-lahan penting dialihfungsikan menjadi kawasan komersial atau perumahan, permukaan tanah yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air hujan menjadi tertutup, sehingga kemampuan tanah untuk menyerap air berkurang. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya banjir dan penurunan kualitas air tanah.
Berkurangnya area persawahan tidak hanya mengurangi ruang hijau yang penting bagi keseimbangan ekosistem, tapi juga menghilangkan habitat flora dan fauna yang bergantung pada ekosistem pertanian tradisional.
Berkurangnya tutupan lahan hijau di Bali telah menyebabkan perubahan iklim mikro. Alih fungsi lahan pertanian menjadi bangunan komersial akan meningkatkan suhu permukaan tanah, mengurangi kelembaban, dan memperburuk efek pemanasan global secara lokal.

Distika Safara Setianda
Editor
