Nasional

IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi RI, Kemenkeu Soroti Dampak Perang Dagang

  • Penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga sejalan dengan tren perlambatan yang melanda negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand.
<p>Wisma BNI 46 menjadi simbol gedung-gedung pencakar langit di Jakarta / Shutterstock</p>

Wisma BNI 46 menjadi simbol gedung-gedung pencakar langit di Jakarta / Shutterstock

(Istimewa)

JAKARTA - Ketegangan perdagangan global yang terus memanas memberikan tekanan nyata terhadap perekonomian Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan terbarunya memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 menjadi hanya 4,7%, turun dari prediksi sebelumnya sebesar 5,1%.

Angka ini merupakan cerminan dari pelemahan permintaan global serta dampak langsung dari gelombang baru kebijakan tarif internasional yang diberlakukan sejak April 2025.

Penurunan pertumbuhan ekonomi juga sejalan dengan tren perlambatan yang melanda negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. IMF memperkirakan kawasan Asia yang sedang berkembang hanya akan tumbuh 4,0% pada 2025, menurun dari 4,6% pada tahun 2024.

"Negara-negara Asia yang sedang berkembang, khususnya negara ASEAN, merupakan salah satu negara yang paling terpengaruh oleh tarif bulan April," tulis IMF dalam laporan terbaru World Economic Outlook April 2025, dikutip, Rabu 23 April 2025.

Selain perlambatan ekonomi, tekanan global juga berdampak pada pasar tenaga kerja Indonesia. IMF memproyeksikan tingkat pengangguran nasional naik menjadi 5,0% pada tahun 2025 dan meningkat lagi menjadi 5,1% pada tahun 2026, dari posisi 4,9% pada tahun 2024. Kondisi ini mencerminkan dampak langsung dari menurunnya aktivitas industri dan ekspor akibat ketidakpastian global.

Di sisi eksternal, defisit transaksi berjalan Indonesia diperkirakan melebar dari 0,6% pada tahun 2024 menjadi 1,5% pada tahun 2025. Kenaikan ini mengindikasikan tekanan pada sektor perdagangan dan arus modal, di tengah melambatnya ekspor serta potensi keluarnya investasi asing dari pasar negara berkembang.

IMF mengidentifikasi perang dagang global, terutama antara Amerika Serikat dan China, sebagai pemicu utama perlambatan ekonomi. Kebijakan tarif saling balas yang diterapkan kedua negara disebut telah menciptakan guncangan besar bagi sistem perdagangan internasional yang telah bertahan selama lebih dari delapan dekade.

IMF juga memperingatkan bahwa dampak perang dagang terhadap rantai pasok global bisa menyamai atau bahkan melampaui disrupsi yang terjadi selama pandemi COVID-19. 

Gangguan terhadap distribusi dan produksi ini dinilai berpotensi memperparah perlambatan ekonomi global termasuk Indonesia, yang kini diproyeksikan hanya akan tumbuh 2,8% pada 2025 secara global, angka terendah sejak krisis pandemi.

Indonesia Masih Relatif Tangguh, Tapi Waspada

Meskipun ekonomi Indonesia dipangkas, pertumbuhan 4,7% tetap lebih tinggi dari rata-rata global. Namun demikian, IMF menegaskan Indonesia tidak boleh lengah. Pemerintah diminta memperkuat fundamental ekonomi domestik, meningkatkan investasi dalam negeri, dan meminimalkan ketergantungan terhadap pasar global yang tidak stabil.

Menanggapi prediksi IMF, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan menyampaikan keprihatinan terhadap memburuknya kondisi ekonomi global. Dirjen Perimbangan Keuangan, Luky Alfirman, menyoroti ketidakstabilan ekonomi dunia yang semakin tajam setelah IMF memangkas proyeksi pertumbuhan global dari 3,3% menjadi 2,8% dalam laporan edisi April 2025. 

"Saya ingin mengingatkan kita semua, ternyata kalau kita lihat kondisi ekonomi, khususnya di sisi global itu sedang tidak baik-baik saja," ungkap Luky dalam acara Musrenbang RPJMD Tahun 2025-2029 dan RKPD Tahun 2026 Provinsi DKI Jakarta, Rabu, 23 April 2025.

Menurutnya, kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang kini dikenal sebagai "Trump 2.0" turut memperburuk situasi, dengan pendekatan proteksionis yang memicu perang dagang dan ketidakpastian tinggi di pasar global.

Dampaknya langsung terasa di Indonesia, terutama pada sektor keuangan. Nilai tukar, pasar saham, dan imbal hasil surat berharga negara (SBN) mengalami volatilitas tinggi. 

"Itu proyeksi dari IMF yang baru saja keluar kemarin. Jadi masih fresh from the oven. Jadi intinya adalah apa yang terjadi di luar sana, di global sana itu ternyata goncangannya sangat besar," imbuh Luky.

Luky mengingatkan bahwa gejolak ini berpotensi menular ke sektor riil dan menekan laju pertumbuhan ekonomi, menghambat penciptaan lapangan kerja, serta memperburuk angka kemiskinan. 

Menyikapi hal ini, ia menegaskan pentingnya peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai instrumen penyangga (shock absorber) dalam menjaga stabilitas nasional. 

Dengan latar kondisi global yang penuh risiko, kebijakan fiskal Indonesia, kata Luky, harus disusun secara hati-hati namun tetap responsif terhadap tantangan eksternal.