Tren Inspirasi

Ide Patungan Beli Hutan, Cermin Krisis Kepercayaan Atas Pengelolaan Alam

  • Konsep membeli hutan (WLT model) digagas warganet untuk mencegah deforestasi. Namun, implementasinya berpotensi terganjal regulasi dan biaya pemeliharaan jangka panjang. Cermin ketidakpercayaan pada otoritas.
6e818410-gp0stt0v6-1024x684.jpg
Ilustrasi deforestasi hutan. (Greenpeace)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Rentetan bencana banjir bandang yang menerjang wilayah Sumatra pada awal Desember 2025 ini tak hanya menyisakan lumpur dan kerugian materi, tetapi memicu amarah kolektif di ruang digital. 

Lelah dengan siklus tahunan "bencana-donasi-lupakan", warganet Indonesia kini menyuarakan solusi radikal: urunan dana (crowdfunding) untuk membeli hutan agar tak dibabat.

Wacana ini mencuat setelah akun Instagram @pandemictalks mengunggah diskusi mengenai ajakan kolektif masyarakat membeli lahan berhutan. Unggahan tersebut menjadi viral, dipenuhi ribuan komentar yang menyanggupi menyisihkan uang demi "mengamankan" hutan dari alih fungsi lahan.

"Sudah ada yang open donasi buat patungan beli hutan belum? Kalo sudah ada, kabarin ya. Patungan dikit dikit mah bisalah gue ikutan," tulis salah satu warganet. Komentar lain lebih emosional, menyebut keinginan memiliki "hak suara" atas hutan sebagai bentuk perlawanan. "Biar seenggaknya aku punya hak suara atas hutan tersebut... Beneran udah muak parah," tambah netizen lain.

Fenomena ini menandai pergeseran psikologis masyarakat. Visual banjir bandang akhir tahun 2025 yang membawa material kayu gelondongan mempertegas dugaan publik bahwa hulu sungai telah rusak parah.

Ide "rakyat beli hutan" adalah mosi tidak percaya publik terhadap kemampuan negara. Logikanya sederhana: jika instrumen hukum negara gagal melindungi pohon dari industri ekstraktif, maka instrumen kepemilikan perdata (sertifikat tanah) diharapkan bisa menjadi benteng terakhir.

Cermin dari Inggris: Sukses "Membeli" Hutan Dunia

Meski terdengar utopis di telinga awam Indonesia, konsep membeli hutan untuk konservasi (Private Protected Areas) bukanlah angan-angan kosong. Di Inggris, skema ini sudah menjadi "mesin" konservasi raksasa yang berjalan lebih dari tiga dekade melalui organisasi World Land Trust (WLT).

Didirikan pada tahun 1989, WLT membuktikan bahwa uang receh publik bisa menyelamatkan paru-paru dunia. Melalui kampanye ikonik "Buy an Acre", donatur cukup menyumbang sekitar £100 (Rp2 juta) untuk membeli dan melindungi satu ekar (0,4 hektare) lahan hutan.

Kunci kesuksesan WLT, yang sangat krusial dicontoh jika Indonesia ingin menerapkan hal serupa, adalah model kepemilikannya yang anti-kolonial. WLT tidak pernah memiliki tanah yang mereka beli di negara berkembang. 

Dana yang terkumpul dari publik Inggris disalurkan sepenuhnya kepada mitra LSM lokal. Merekalah yang membeli tanah, memegang sertifikat hak milik, dan mengelolanya sesuai hukum setempat. Jadi, hutan tetap milik yayasan lokal, namun dibiayai oleh "patungan" warga dunia.

WLT juga menjawab masalah klasik konservasi: "Siapa yang menjaga?". Mereka memiliki program dana abadi "Keepers of the Wild" untuk menggaji warga lokal menjadi ranger (penjaga hutan). Dukungan tokoh besar seperti Sir David Attenborough semakin mengukuhkan bahwa model ini efektif dan transparan.

Tantangan di Indonesia: Antara Regulasi dan Realita

Di Indonesia, inisiatif serupa dalam skala mikro sebenarnya sudah dilakukan oleh aktivis seperti Chanee Kalaweit. Melalui yayasannya, ia membeli lahan milik warga yang berbatasan langsung dengan hutan lindung untuk dijadikan zona penyangga, memastikan tidak ada sawit yang menempel ke bibir hutan.

Namun, merealisasikan keinginan netizen secara massal ("membeli hutan negara") menemui tembok regulasi. Di Indonesia, sebagian besar hutan berstatus Kawasan Hutan Negara yang tidak bisa diperjualbelikan. Masyarakat hanya bisa membeli lahan berstatus Area Penggunaan Lain (APL) yang masih memiliki tutupan hutan.

Jika dana terkumpul, lahan tersebut harus dibeli atas nama yayasan atau badan hukum, lalu didaftarkan skema konservasinya. Tantangan terberatnya pun serupa dengan yang dihadapi WLT: biaya operasional pasca-pembelian. Menjaga hutan dari perambah liar membutuhkan biaya patroli dan hukum yang harus berkelanjutan seumur hidup.

Terlepas dari kerumitan teknisnya, viralnya ajakan ini adalah "tamparan keras" bagi para pemangku kebijakan. Ketika rakyat bersedia merogoh kocek pribadi untuk melakukan tugas yang seharusnya diemban negara, itu adalah sinyal darurat bahwa kepercayaan publik terhadap tata kelola lingkungan hidup sedang berada di titik nadir.