Tren Inspirasi

Gerakan Imperfect Foods, Solusi Alternatif Kelola Sampah Pangan

  • Indonesia membuang 23–48 juta ton makanan per tahun. Tren penjualan pangan “imperfect” yang sukses di luar negeri dinilai bisa jadi solusi sampah pangan di Tanah Air.
Menghemat uang dengan cara merencanakan menu dan membuat daftar belanja makanan.
Menghemat uang dengan cara merencanakan menu dan membuat daftar belanja makanan. (Freepik)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah pangan. Data Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) per Selasa, 26 Agustus 2025 mencatat, setiap tahun Indonesia membuang sekitar 23–48 juta ton makanan, atau setara dengan 115–184 kilogram per kapita. 

Ironisnya, sebagian besar makanan terbuang hanya karena bentuk atau tampilannya dianggap tidak sempurna. Di tengah persoalan ini, muncul gagasan penjualan produk pangan “imperfect” atau hasil panen yang tidak memenuhi standar estetika, meski kualitas gizi dan rasanya tetap sama. 

Model ini terbukti berhasil di berbagai negara dan dinilai memiliki potensi besar jika diterapkan di Indonesia. Prancis menjadi salah satu pelopor melalui kampanye “Inglorious Fruits and Vegetables” yang digagas jaringan supermarket Intermarché pada 2014. 

Buah dan sayur “jelek” dijual dengan diskon hingga 30%, dan langkah ini berhasil meningkatkan kunjungan konsumen ke toko sebesar 24%. 

Di Amerika Serikat, startup seperti Imperfect Foods dan Misfits Market menawarkan model berlangganan dengan mengirim kotak berisi produk pertanian “tidak sempurna” langsung ke rumah konsumen. 

Sementara di Inggris, retailer besar seperti Tesco dan Waitrose mengintegrasikan produk “wonky” ke dalam jus, sup, atau makanan olahan lain agar lebih mudah diterima pasar. Denmark mengambil pendekatan berbeda lewat supermarket sosial WeFood. 

Toko ini menjual makanan mendekati tanggal kedaluwarsa atau produk dengan kemasan rusak dengan harga 30 hingga 50% lebih murah. Uniknya, seluruh keuntungan WeFood disalurkan ke program sosial, sehingga model bisnisnya sekaligus memberikan manfaat ganda.

Menurut FAO, konsep serupa bisa sangat relevan di Indonesia. Selain karena tingkat limbah pangan yang tinggi, harga pangan dalam negeri terkenal fluktuatif sehingga kehadiran produk dengan harga lebih murah tentu menarik bagi konsumen. Di sisi lain, petani juga akan sangat terbantu karena hasil panen mereka tetap bisa terserap pasar.

Meski begitu, penerapannya tidak mudah. Budaya belanja masyarakat Indonesia masih cenderung memilih produk segar dengan tampilan mulus, sementara pasar tradisional sebagai kanal utama distribusi pangan sangat ketat dalam menekankan estetika barang dagangan. 

Rantai pasok dari petani ke konsumen juga cukup rumit dan sering kali menimbulkan pemborosan, ditambah kondisi iklim tropis yang membuat produk lebih cepat rusak jika tidak dikelola dengan baik.

Untuk bisa berhasil, model “imperfect foods” di Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lokal. Salah satu langkah yang mungkin adalah kemitraan dengan ritel modern untuk menyediakan area khusus produk imperfect. 

Kolaborasi dengan startup agritech seperti Sayurbox juga potensial, mengingat mereka sudah memiliki jaringan distribusi langsung dari petani.  Pasar grosir yang memasok kebutuhan UMKM kuliner, restoran, dan katering dapat menjadi target penting karena segmen ini tidak terlalu mempermasalahkan penampilan bahan baku. 

Di sisi lain, edukasi konsumen melalui kampanye publik, kerja sama dengan pemerintah, chef ternama, hingga influencer kuliner juga diperlukan untuk mengubah cara pandang bahwa kualitas pangan tidak hanya ditentukan dari tampilan luar.

Beberapa inisiatif lokal bahkan sudah mulai berjalan. Surplus Indonesia dan Food Cycle Indonesia, misalnya, telah mengembangkan aplikasi yang menghubungkan konsumen dengan produk pangan berlebih atau imperfect dengan harga lebih murah. 

Walaupun skalanya belum besar, langkah ini membuktikan bahwa solusi kreatif untuk mengurangi sampah pangan bisa tumbuh dari dalam negeri. Dengan dukungan kebijakan, infrastruktur logistik yang lebih baik, serta kampanye publik yang konsisten, gerakan “imperfect foods” berpotensi menjadi salah satu jawaban penting bagi masalah besar sampah pangan Indonesia.