Fenomena Pembangkit Hantu, Harga Mahal Transisi Energi yang Inefisien
- BPK ungkap "pembangkit hantu" alias aset mangkrak di PLN dan potensi Rp23,73 triliun yang hilang akibat inefisiensi kebijakan energi. Menjadi alarm keras bagi pemerintah bahwa perubahan peta jalan energi tidak boleh mengorbankan efisiensi fiskal.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Ambisi transisi energi Indonesia ternyata menyisakan residu persoalan yang sangat mahal. Laporan terbaru Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Semester I 2025 mengungkap realitas pahit di balik pengelolaan sektor kelistrikan yang dipenuhi aset mangkrak dan inefisiensi anggaran.
Istilah "pembangkit hantu" mencuat seiring temuan banyaknya proyek infrastruktur listrik yang terhenti di tengah jalan. Kondisi ini diperparah oleh hilangnya potensi penghematan keuangan negara dalam jumlah fantastis akibat kebijakan kompensasi dan subsidi yang dinilai tidak tepat sasaran.
Temuan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan PLN bahwa perubahan peta jalan energi tidak boleh mengorbankan efisiensi fiskal. Berikut adalah 4 fakta "harga mahal" yang harus dibayar negara akibat tata kelola transisi energi yang belum matang.
1. Fenomena 'Pembangkit Hantu'
BPK menemukan sejumlah proyek pembangkit listrik berstatus Pekerjaan Dalam Pelaksanaan (PDP) yang kini berakhir mangkrak. Proyek-proyek ini menjadi korban dari perubahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang tidak terkoordinasi dengan baik, menyisakan bangunan fisik tanpa fungsi operasional.
Salah satu contoh nyata adalah penghentian pembangunan PLTU Indramayu Unit 4 serta 14 proyek PDP lainnya. Infrastruktur ini terpaksa dihentikan karena tidak lagi masuk dalam skema perencanaan energi terbaru, menciptakan deretan aset terbengkalai yang membebani neraca perusahaan.
Dampak finansial dari fenomena ini adalah munculnya biaya hangus atau sunk cost yang merugikan. Aset yang sudah dibangun tidak bisa dimanfaatkan dan uang yang keluar tidak kembali. "Potensi biaya hangus sebesar Rp229,73 miliar dari aset-aset yang kini berstatus mangkrak," catat BPK dikutip TrenAsia pada Jumat, 19 Desember 2025.
2. Triliunan Rupiah Tertanam Sia-sia
Selain biaya yang benar-benar hangus, terdapat nilai investasi jumbo yang kini "terkubur" dalam proyek-proyek macet tersebut. Dana triliunan rupiah tertahan pada infrastruktur setengah jadi yang tidak memberikan imbal hasil (return) ekonomi maupun manfaat kelistrikan bagi masyarakat.
Inefisiensi belanja modal ini menunjukkan lemahnya perencanaan mitigasi risiko dalam transisi energi. Modal yang seharusnya bisa diputar untuk proyek produktif lain justru terkunci mati dalam beton-beton proyek yang nasibnya tidak jelas hingga saat ini.
Angka investasi yang macet ini sangat signifikan di tengah kebutuhan likuiditas untuk pengembangan energi hijau. Uang negara tertahan tanpa memberikan manfaat apa pun. "Terdapat dana investasi minimal Rp1,97 triliun yang tertanam pada proyek-proyek PDP tersebut," ungkap laporan auditor negara.
3. Duit Hilang Rp23,73 Triliun
Sorotan paling tajam dari BPK tertuju pada mekanisme kompensasi listrik yang merugikan negara. Pemerintah dinilai masih menggunakan formula perhitungan kompensasi berbasis penetapan APBN, bukan berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) riil yang terjadi di lapangan operasional.
Kerugian diperparah oleh kebijakan menahan tarif atau tariff adjustment bagi tujuh golongan pelanggan non-subsidi. Penahanan tarif bagi kelompok industri dan orang kaya ini membuat beban kompensasi yang harus ditanggung negara membengkak jauh di atas kewajaran.
Akibat distorsi kebijakan ini, negara kehilangan peluang besar untuk menghemat anggaran. Nilai inefisiensi ini setara dengan biaya pembangunan infrastruktur publik skala masif. "Mengakibatkan hilangnya potensi penghematan keuangan negara senilai Rp23,73 triliun," tegas temuan BPK tersebut.
4. Piutang Macet dan Subsidi Bocor
Masalah arus kas juga muncul dari sisi piutang usaha yang belum tertagih. BPK mencatat adanya dana operasional terkait biaya relokasi pembangkit untuk proyek smelter yang hingga kini belum dibayarkan oleh pihak terkait, menambah tekanan pada likuiditas PLN.
Di sisi lain, mekanisme penyaluran subsidi listrik untuk golongan non-rumah tangga (sosial dan industri) dinilai masih lemah pengawasannya. Minimnya validasi data membuat uang negara rawan bocor ke pihak yang sebenarnya tidak berhak menerima bantuan subsidi energi.
Kondisi ini menuntut perbaikan segera dalam tata kelola administrasi dan penagihan. Tanpa pembenahan, kebocoran anggaran akan terus terjadi. "Dana operasional minimal Rp719,90 miliar belum diterima dari PT Aneka Tambang Tbk (ANTM)," sebut data dalam laporan tersebut.

Alvin Bagaskara
Editor
