Bingung Pasar Saham Bergejolak, Kenali Ulah Hantu Keynes dan Friedman
- Gejolak pasar saham bukan kebetulan. Simak sejarah pemikiran Keynes dan Friedman untuk membaca arah IHSG dan mengatur strategi investasi yang tepat.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Volatilitas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kerap memicu kebingungan di kalangan pelaku pasar. Koreksi tajam dapat terjadi seketika akibat pidato pejabat bank sentral, sementara sektor konstruksi bisa melesat naik sesaat setelah pengumuman anggaran negara.
Di balik fluktuasi harga tersebut, sejatinya sedang terjadi pertarungan ideologi yang telah berlangsung hampir satu abad. Ini bukan sekadar angka, melainkan benturan gagasan antara dua raksasa ekonomi dunia yang sudah lama tiada, John Maynard Keynes dan Milton Friedman.
Bagi investor Gen Z yang mendominasi pasar modal saat ini, memahami sejarah pemikiran keduanya adalah peta navigasi krusial. Pengetahuan ini membantu membaca arah angin pasar untuk menentukan strategi agresif atau bertahan. Berikut adalah 4 fakta pertarungan dua mazhab tersebut.
1. Keynes: Aristokrat Penyelamat Krisis
John Maynard Keynes hadir di panggung sejarah saat Depresi Besar atau Great Depression menghantam dunia pada 1930-an. Pasar saham Wall Street hancur lebur dan pengangguran merajalela, mematahkan teori ekonomi klasik yang saat itu cenderung pasif.
Keynes menolak keras gagasan bahwa pasar akan pulih dengan sendirinya tanpa campur tangan. Menunggu pemulihan alami saat rakyat sedang kelaparan dinilai sebagai tindakan konyol dan tidak manusiawi. "In the long run we are all dead," tegas Keynes dalam A Tract on Monetary Reform.
Solusinya sangat radikal, yakni negara wajib mengambil alih kendali ekonomi. Pemerintah harus menjadi pembelanja terakhir atau spender of last resort dengan mencetak uang dan membangun proyek agar roda ekonomi berputar kembali. "Negara harus ambil alih," prinsip utamanya.
2. Friedman: Pengendali Inflasi Moneter
Milton Friedman muncul sebagai antitesis berat dari sudut pandang berbeda. Lahir dari keluarga imigran sederhana, ia sangat skeptis terhadap birokrasi pemerintah yang dinilai terlalu gemuk. Panggung utamanya adalah era 1970-an saat resep ekonomi lama mulai gagal.
Dunia kala itu mengalami stagflasi, kondisi ekonomi macet namun harga barang melambung tinggi. Friedman berargumen bahwa kekacauan ini terjadi justru karena pemerintah terlalu banyak melakukan intervensi pasar. "Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon," cetus Friedman dalam The Counter-Revolution in Monetary Theory.
Solusi yang ditawarkan terdengar dingin namun sangat disiplin. Negara harus menarik diri dan membiarkan pasar bebas bekerja, sementara Bank Sentral fokus mengontrol peredaran uang lewat kebijakan suku bunga. "Tarik mundur pemerintah," menjadi solusi andalannya.
3. Dampak Nyata pada Portofolio
Siklus pergantian kedua rezim ini terlihat sangat nyata dalam lima tahun terakhir. Fase 2020-2021 menjadi panggung Keynesian saat pandemi melanda dan stimulus triliunan rupiah digelontorkan pemerintah untuk menyelamatkan daya beli masyarakat.
Likuiditas melimpah membuat aset berisiko seperti saham teknologi, bank digital, hingga kripto terbang tinggi. Periode ini menjadi masa keemasan bagi investor agresif yang memburu imbal hasil maksimal. Tak ayal kata "To the moon," menjadi istilah populer kala itu.
Namun, pesta berakhir saat doktrin Friedman mengambil alih pada fase 2022-2024. Bank sentral menaikkan suku bunga secara agresif untuk menyedot uang beredar, merontokkan valuasi saham teknologi yang belum mencetak laba. Kondisi inilah yang disebut sebagai "Tech winter".
4. Strategi Navigasi Investor Cerdas
Sejarah mengajarkan bahwa ekonomi selalu berayun bak pendulum antara ketakutan resesi dan keserakahan inflasi. Tidak ada satu mazhab yang benar selamanya, sehingga kemampuan adaptasi membaca arah kebijakan penguasa menjadi kunci utama bagi investor.
Jika berita dipenuhi wacana pembangunan infrastruktur, sektor konstruksi dan ritel layak dilirik. Strategi agresif pada sektor siklikal sangat disarankan saat pemerintah sedang royal membelanjakan anggaran negara. "Pemerintah naikkan anggaran," menjadi sinyal positif.
Sebaliknya, saat Bank Sentral bicara stabilitas dan menaikkan bunga, investor harus defensif. Hindari emiten berutang tinggi dan beralih ke perbankan besar atau instrumen pasar uang untuk mengamankan arus kas. "Cash is King," prinsip saat pengetatan.

Alvin Bagaskara
Editor
