Dunia Melawan Food Waste: Dari Upcycle Makanan Sampai Supermarket 'Sampah'
- Krisis pangan global menuntut solusi yang lebih dari sekadar kampanye moral. Simak bagaimana kombinasi teknologi, inovasi bisnis, dan regulasi negara dapat menekan angka pemborosan makanan secara efektif.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Krisis pangan global bukan hanya soal kelaparan, tetapi juga soal pemborosan yang masif. Laporan terbaru UNEP Food Waste Index Report 2024 mengungkap fakta mengejutkan: dunia membuang sekitar 1,05 miliar ton makanan setiap tahunnya.
Angka fantastis ini setara dengan 19% dari seluruh makanan yang tersedia untuk konsumen di seluruh dunia. Padahal di sisi lain, jutaan orang masih menderita kerawanan pangan. Ironisnya, sampah makanan ini juga menyumbang 8–10%emisi gas rumah kaca global.
Di tengah ancaman krisis ini, beberapa negara Eropa memilih jalan berbeda. Mereka mengubah 'sampah' menjadi 'berkah' melalui inovasi sosial dan regulasi ketat. Mari kita bedah tuntas praktik terbaik dari Denmark, Inggris, hingga regulasi revolusioner di Prancis.
1. Inovasi Sosial Denmark: Supermarket 'Sampah'
Di Denmark, inovasi lahir dari gerakan sosial yang mengubah persepsi publik. Supermarket bernama WeFood mendobrak stigma dengan menjual makanan yang hampir kedaluwarsa, kemasan rusak, atau surplus rantai pasok. Produk ini dijual dengan harga 30–50% lebih murah.
Konsep ini sederhana namun brilian dalam eksekusinya. WeFood mencegah makanan layak konsumsi berakhir di tempat sampah, sekaligus memberikan akses pangan murah bagi masyarakat. Ini menjadi solusi ganda bagi masalah lingkungan dan ekonomi warga.
Tidak hanya itu, model bisnis ini juga memiliki dampak sosial yang luas. Keuntungan dari penjualan di WeFood didonasikan untuk proyek kemanusiaan. Ini adalah bukti nyata bahwa sisa makanan bisa memiliki nilai ekonomi dan sosial sekaligus.
- Baca Juga: Menanti Kepastian Peran Ahli Gizi dalam Program MBG
2. Solusi Digital dan Kuliner: Inggris dan Belanda
Di Inggris, teknologi menjadi kunci efisiensi pangan. Aplikasi Too Good To Go memungkinkan restoran dan supermarket menjual "magic bag" berisi makanan berlebih dengan harga diskon. Konsumen mendapatkan makanan murah, sementara pelaku usaha mengurangi biaya limbah.
Sementara di Belanda, restoran Instock membawa konsep ini ke level seni kuliner. Mereka melakukan upcycling bahan makanan surplus dari supermarket menjadi menu-menu kreatif. Bahan yang tadinya akan dibuang, diolah kembali menjadi hidangan layak jual.
Kedua pendekatan ini menunjukkan bahwa sektor swasta bisa berperan aktif. Dengan bantuan teknologi dan kreativitas, masalah surplus makanan dapat diselesaikan secara komersial tanpa harus selalu bergantung pada bantuan pemerintah atau regulasi yang memaksa.
3. Revolusi Regulasi Prancis: Larangan Buang Makanan
Inisiatif paling radikal dan sistemik datang dari Prancis. Negara ini memilih jalur regulasi keras melalui Garot Law (2016). Prancis menjadi negara pertama di dunia yang secara resmi melarang supermarket membuang makanan layak konsumsi.
Supermarket diwajibkan menjalin kemitraan dengan food bank untuk menyalurkan donasi secara rutin. Praktik menghancurkan makanan sisa yang tidak terjual (misalnya dengan menyiram pemutih) dilarang keras oleh undang-undang dan pelakunya diancam dengan denda yang signifikan.
Kebijakan ini kemudian diperluas melalui Egalim Law (2018) dan AGEC Law (2020). Regulasi tambahan ini mewajibkan sektor katering dan industri pengolahan untuk ikut serta, serta memperkenalkan label anti-food waste untuk mendorong reputasi positif pelaku usaha.
4. Dampak Sistemik dan Target Pengurangan
Pendekatan regulasi Prancis terbukti sangat efektif di lapangan. Donasi makanan dilaporkan meningkat pesat, tekanan pada tempat pembuangan akhir berkurang drastis, dan ketahanan pangan bagi kelompok rentan di negara tersebut menjadi lebih terjaga dengan baik.
Prancis kini menetapkan target yang sangat ambisius ke depan. Negara ini optimistis mencapai target pengurangan limbah makanan sebesar 50% di sektor ritel pada tahun 2025, dan di seluruh rantai pasok pangan pada tahun 2030.
Target ini didukung oleh sistem pengukuran yang ketat. Data United Nations Statistics Division (UNSD) menunjukkan sektor rumah tangga menyumbang porsi terbesar limbah (631 juta ton), sehingga pendekatan komprehensif dari hulu ke hilir menjadi sangat krusial.
5. Relevansi dan Pelajaran Bagi Indonesia
Bagi Indonesia, yang juga menghadapi masalah sampah makanan serius, praktik ini menawarkan pelajaran berharga. Solusi limbah makanan tidak bisa hanya mengandalkan kampanye moral semata, tetapi memerlukan intervensi struktural yang lebih nyata dan terukur.
Dibutuhkan kombinasi strategi yang tepat antara berbagai sektor. Inovasi model bisnis (seperti WeFood), penggunaan teknologi (seperti Too Good To Go), dan keberanian membuat regulasi negara yang tegas (seperti Garot Law) harus berjalan beriringan.
Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa mengubah tantangan ini menjadi peluang. Miliaran ton sampah makanan dapat dikonversi menjadi sumber ketahanan pangan baru yang lebih adil, efisien, dan manusiawi bagi seluruh lapisan masyarakat.

Alvin Bagaskara
Editor
