Darurat Utang Negara Berkembang: Ancaman Krisis Baru di Tengah Gejolak Global
- Dalam setahun terakhir, semakin banyak negara yang kesulitan membayar utang luar negerinya. Mulai dari Sri Lanka, Pakistan, Zambia, hingga Argentina, mereka kini berada dalam situasi fiskal genting akibat kombinasi berbahaya antara beban utang, pelemahan mata uang, dan lonjakan harga energi.

Debrinata Rizky
Author


JAKARTA – Tekanan ekonomi global yang belum mereda mulai menunjukkan dampak serius terhadap keuangan negara-negara berkembang.
Dalam setahun terakhir, semakin banyak negara yang kesulitan membayar utang luar negerinya. Mulai dari Sri Lanka, Pakistan, Zambia, hingga Argentina, mereka kini berada dalam situasi fiskal genting akibat kombinasi berbahaya antara beban utang, pelemahan mata uang, dan lonjakan harga energi.
- Peluang Emas Buat Pebisnis Muda: BCA Buka Akses Ekspor Lewat Go Export 2025
- Rencana Kemenkes Seragamkan Kemasan Rokok Dinilai Ancam Ekonomi dan Picu Lonjakan Rokok Ilegal
- Harganya Kembali Pulih setelah Anjlok, Bitcoin Makin Kuat Guncangan Geopolitik
- Donasikan Rp60 M Bangun Pusat Perawatan Autisme di Korsel, Berapa Kekayaan Suga BTS?
Mengapa Hal ini Terjadi ?
Gejolak geopolitik yang meningkat, termasuk konflik antara Iran dan Israel sejak pertengahan Juni 2025, membuat harga minyak dunia melonjak dan mendorong arus modal global kembali ke aset safe haven seperti dolar AS dan emas.
Negara-negara dengan ketergantungan tinggi terhadap impor energi dan pangan pun semakin rentan. Sementara itu, tekanan suku bunga global yang masih tinggi membuat biaya pinjaman internasional membengkak dan ini jadi mimpi buruk bagi negara-negara yang utangnya didominasi dolar.
Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia telah mengingatkan bahwa dunia tengah menghadapi "gelombang krisis utang negara berkembang" yang bisa menular jika tak dikelola dengan hati-hati.
Krisis ini bukan hanya tentang gagal bayar semata, tetapi juga mencerminkan rapuhnya struktur ekonomi yang terlalu bergantung pada pembiayaan eksternal, rentan terhadap tekanan eksternal, dan minim ruang fiskal untuk bertahan saat guncangan datang bertubi-tubi.
Bagaimana Indonesia?
Proyeksi Bank dunia bagi Indonesia, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif lebih rendah sekitar 40,1% per Mei 2025 bukan berarti bebas risiko. Sebagian besar utang pemerintah Indonesia masih berdenominasi valuta asing, terutama dolar AS.
Jika rupiah terus melemah akibat keluarnya dana asing atau gejolak global tak terkendali, maka beban bunga dan pokok utang akan meningkat signifikan.
Selain itu, lonjakan harga minyak akibat ketegangan di Selat Hormuz juga menjadi ancaman serius. Jika harga Brent menembus asumsi dasar makro dalam APBN 2025, yaitu US$82 per barel, maka pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, menambah beban subsidi dan defisit, atau menyesuaikan harga energi ke konsumen yang artinya, inflasi akan kembali menghantam daya beli masyarakat.
Risiko dan Langkah Mitigasi Indonesia :
1. Beban Utang & Pengeluaran Fiskal
Minimnya ruang fiskal di negara berkembang membuat sebagian besar belanja dialokasikan untuk membayar bunga utang sekitar 12% PDB di emerging markets dan 20% di negara miskin . Indonesia perlu menjaga disiplin fiskal agar tidak tergelincir ke pola berbahaya tersebut.
2. Tekanan Nilai Tukar
Melemahnya rupiah karena aliran modal keluar dapat menyulitkan pemerintah dan sektor industri dalam menunaikan utang luar negeri, dan memperburuk inflasi impor. BI harus sigap menstabilkan pasar dan memastikan cadangan devisa mencukupi .
3. Harga Energi dan Pangan
Kenaikan harga minyak di atas US$82 per barel akibat konflik geopolitik akan mendorong inflasi biaya logistik dan bahan pangan impor. Subsidi energi dan pangan pun bisa membengkak, menekan APBN dan memaksa pemerintah memilih antara menjaga subsidi atau membiarkan inflasi jalan .
4. Transparansi dan Reformasi Utang
Untuk menjaga kepercayaan global, Indonesia perlu meningkatkan transparansi pengelolaan utang—ikut saran World Bank agar negara berkembang wajib menyediakan informasi pinjaman, restrukturisasi, dan risiko terkait.
Untuk menjaga stabilitas, pemerintah harus:
Menjalankan disiplin fiskal dan menjaga rasio defisit.
Memperkuat cadangan devisa dan kredibilitas BI.
Diversifikasi sumber pembiayaan (termasuk obligasi luar negeri yang aman).
Mempercepat reformasi struktural untuk meningkatkan pendapatan domestik, mempertahankan investasi, dan memperkuat eksportir lokal.
Negara-Negara yang Mengalami Krisis Utang atau Berisiko Gagal Bayar
1. Sri Lanka
Status: Default sejak 2022
Utang: Lebih dari US$50 miliar, mayoritas dari kreditur bilateral seperti China dan Jepang.
Faktor: Krisis devisa, turunnya pariwisata akibat pandemi, pengelolaan fiskal yang buruk.
Perkembangan Terbaru: Dalam proses restrukturisasi utang dengan IMF dan kreditur swasta.
2. Pakistan
Status: Dalam kondisi kritis
Utang: Sekitar US$131,1 miliar, dengan beban cicilan sangat besar.
Faktor: Krisis energi, inflasi tinggi, cadangan devisa sempat turun di bawah US$4 miliar.
Langkah: Mendapat bailout dari IMF, tetapi masih bergantung pada pinjaman bilateral.
3. Zambia
Status: Default sejak 2020
Utang: Lebih dari US$21,6 miliar.
Faktor: Ketergantungan pada komoditas, pandemi, dan utang ke China.
Perkembangan: Menjadi negara pertama yang meminta restrukturisasi utang di bawah Common Framework G20.
4. Ghana
Status: Default pada 2022
Utang: Lebih dari 70% dari PDB.
Faktor: Melemahnya mata uang, defisit anggaran, inflasi tinggi.
5. Argentina
Status: Gagal bayar sebagian (selective default) beberapa kali.
Utang: Lebih dari US$400 miliar.
Faktor: Inflasi kronis, depresiasi peso, defisit anggaran.
Langkah: Bergantung pada kesepakatan baru dengan IMF dan kreditur internasional.
6. Ethiopia
Status: Dalam proses restrukturisasi
Utang: Sekitar US$65,56 miliar
Faktor: Konflik domestik, penurunan pendapatan ekspor, biaya impor pangan dan energi.
Tantangan: Minimnya kepercayaan investor dan dampak konflik Tigray.

Amirudin Zuhri
Editor
