Dari Argentina hingga Yunani, Begini Bahaya Manipulasi Data Ekonomi
- Manipulasi defisit Yunani dan inflasi Argentina membuktikan bahwa statistik palsu bisa menghancurkan sebuah negara.

Muhammad Imam Hatami
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID - Manipulasi data ekonomi bukan sekadar persoalan angka, tindakan tersebut dapat memicu krisis nasional yang menghantam rakyat, bahkan menjatuhkan reputasi negara di mata dunia.
Sejarah sudah mencatat bagaimana negara-negara besar seperti Yunani dan Argentina terjerembab ke jurang kebangkrutan gara-gara “memoles” statistik mereka.
Ketika huru-hara politik lewat manipulasi data menyentuh kredibilitas lembaga statistik di berbagai belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, pengalaman pahit itu kembali relevan untuk dijadikan peringatan.
Dilansir TrenAsia dari berbagai sumber, Rabu, 27 Agustus 2025, berikut sederet negara yang terjerembab sebagai akibat dari manipulasi data statistik ekonominya,
Yunani: Defisit yang Ditutup-tutupi
Kasus Yunani pada awal tahun 2000-an menjadi salah satu contoh paling dramatis. Negeri para dewa ini saat itu mengakui defisit anggaran hanya sebesar 3,7% dari produk domestik bruto (PDB), padahal kenyataannya mencapai 15,4% pada 2009. Manipulasi ini dilakukan agar Yunani memenuhi kriteria Pakta Stabilitas Uni Eropa dan bisa meminjam dana dengan bunga rendah.
Fakta akhirnya terbongkar, investor kehilangan kepercayaan, obligasi Yunani terjun bebas, dan pada 2015 negara itu gagal membayar utang €1,6 miliar kepada IMF.
Total utangnya membengkak menjadi €323 miliar. Sebagai kompensasi, Uni Eropa dan IMF memaksa Yunani menjalankan kebijakan penghematan brutal. Dampaknya, pengangguran melonjak ke level 27 persen dan ekonomi menyusut seperempat dari total PDB.
Argentina: Inflasi yang Disulap
Di belahan dunia lain, Argentina juga menyembunyikan luka ekonominya. Antara 2007 hingga 2015, pemerintah menampilkan angka inflasi resmi hanya 10%. Padahal data independen menyebutkan bisa mencapai 25%. Motifnya sederhana, menjaga citra di mata investor dan menekan beban pembayaran utang dalam mata uang peso.
Namun manipulasi itu justru menjadi bumerang. Inflasi meroket tak terkendali, mencapai 143% pada pertengahan 2023, bahkan tembus 211,4% di akhir tahun yang sama.
Negeri Tango itu kini tercatat sudah gagal bayar utang sembilan kali dalam sejarahnya, termasuk default terbesar senilai US$145 miliar pada 2001. Akibat krisis berulang, sekitar 40% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.
Kedua kasus tersebut menegaskan satu hal, tanpa transparansi, data ekonomi bisa menjadi bom waktu. Yunani terjebak krisis utang zona euro, sementara Argentina terperangkap dalam siklus hiperinflasi dan gagal bayar. Bedanya, Yunani mendapat bailout besar-besaran dengan syarat penghematan, sedangkan Argentina memilih devaluasi peso dan kontrol harga.
Namun keduanya membuktikan bahwa kredibilitas statistik adalah fondasi kepercayaan investor dan stabilitas fiskal. Sekali kepercayaan itu runtuh, ongkos pemulihannya amat mahal.
Pelajaran ini menjadi semakin relevan ketika di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump pada awal 2025 sempat mengguncang publik dengan memecat kepala Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS). Meskipun AS memiliki institusi yang jauh lebih kuat dibanding Yunani atau Argentina, langkah tersebut memunculkan kekhawatiran akan politisasi data.
Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, isu ini menjadi alarm penting. Integritas lembaga statistik, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), harus dijaga dari intervensi politik. Tanpa data yang kredibel, kebijakan ekonomi bisa melenceng jauh dari realitas.
Indonesia sejauh ini menunjukkan performa yang cukup solid. Pada 2023, misalnya, APBN mencatat penerimaan pajak 108,8% dari target dengan pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%. Namun sejarah Yunani dan Argentina tetap menjadi pengingat keras bahwa keberhasilan itu hanya bisa bertahan jika fondasinya transparan.
Pengawasan independen, audit internasional, serta partisipasi masyarakat sipil diperlukan agar data tidak mudah dipoles demi kepentingan politik jangka pendek. Seperti diungkap para ekonom, kredibilitas data bukan sekadar urusan teknis, melainkan menyangkut nasib jutaan orang.

Muhammad Imam Hatami
Editor
