Tren Inspirasi

Belajar dari Inggris: Cara World Land Trust Sukses Beli Hutan Dunia

  • WLT sukses menyelamatkan jutaan hektare hutan dengan menyalurkan dana ke LSM lokal. Model kepemilikan anti-kolonial ini menjadi kunci jika gerakan rakyat membeli hutan ingin direalisasikan.
AMAZON.jpg
Hutan Amazon (Popular Mechanics)

JAKARTA, TRENASIA.ID – Viral-nya seruan netizen Indonesia untuk "patungan membeli hutan" demi mencegah banjir bukanlah ide kosong. Konsep konservasi berbasis pembelian lahan (Private Protected Areas) ini telah dibuktikan keberhasilannya oleh organisasi asal Inggris, World Land Trust (WLT).

Selama lebih dari 30 tahun, WLT sukses mengubah donasi publik menjadi jutaan hektare benteng konservasi di seluruh dunia. Bagi masyarakat yang skeptis, portofolio WLT adalah bukti bahwa uang receh publik bisa menyelamatkan paru-paru dunia.

Berikut adalah bedah tuntas model WLT, mekanisme kepemilikannya yang unik, dan tantangan regulasi yang menghadang gerakan serupa di Indonesia.

1. Model WLT: Pembelian Aset Konservasi

WLT memfasilitasi publik untuk membeli satu ekar lahan hutan konservasi melalui program ikonik "Buy an Acre". Inisiatif ini bermula dari Proyek Belize, di mana WLT berhasil menggalang dana untuk membeli dan menyelamatkan lebih dari 100.000 hektare hutan hujan tropis.

Area tersebut kini menjadi Rio Bravo Conservation and Management Area, salah satu kesuksesan terbesar WLT. Program WLT juga berhasil mendanai pembelian Pulau Danjugan di Filipina, menyelamatkannya dari eksploitasi komersial.

Di kawasan Río Anzu dan Río Zúnac di Ekuador, WLT bekerja sama dengan Fundación EcoMinga. Kemitraan ini memperluas cadangan hutan yang menjadi rumah bagi spesies endemik langka, dan efektif memutus rantai deforestasi akibat pertanian.

2. Kunci Sukses: Model Kepemilikan Anti-Kolonial

Pelajaran terpenting WLT bagi Indonesia adalah model kepemilikannya yang anti-kolonial. WLT Inggris tidak pernah memiliki tanah di negara lain. Dana donasi disalurkan sepenuhnya ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal.

LSM lokal inilah yang membeli tanah, memegang sertifikat hak milik, dan mengelolanya sesuai hukum setempat. Jadi, hutan tetap milik bangsa sendiri, namun pendanaannya dibiayai oleh solidaritas global.

WLT juga mengatasi masalah pemeliharaan melalui program dana abadi "Keepers of the Wild". Program ini digunakan untuk menggaji warga lokal sebagai ranger (penjaga hutan), memastikan pengawasan dan perlindungan pasca-pembelian berjalan secara berkelanjutan.

3. Tantangan Regulasi dan Realita Lahan di Indonesia

Di Indonesia, model ini menghadapi tantangan regulasi. Sebagian besar hutan berstatus Kawasan Hutan Negara yang secara hukum tidak bisa diperjualbelikan kepada publik atau organisasi non-pemerintah.

Peluang masyarakat ada pada lahan berstatus Area Penggunaan Lain (APL) atau lahan milik warga yang masih berhutan. Jika dana terkumpul, lahan harus dibeli atas nama yayasan atau badan hukum, lalu didaftarkan skema konservasinya ke pemerintah setempat.

Inisiatif serupa skala mikro sudah dirintis oleh aktivis seperti Chanee Kalaweit. Ia membeli lahan penyangga di sekitar hutan lindung untuk dijadikan zona konservasi, mencegah perluasan perkebunan yang ilegal, menunjukkan model lokal yang berhasil.

4. Risiko Operasional Jangka Panjang

Tantangan terberat setelah pembelian lahan adalah biaya operasional. Menjaga hutan dari perambah liar membutuhkan biaya patroli, pengawasan hukum, dan pemeliharaan yang harus dipertahankan secara berkelanjutan seumur hidup.

Tanpa skema pendanaan yang profesional, lahan yang sudah dibeli berisiko tinggi untuk dijarah atau dijual kembali di masa depan. Program dana abadi seperti "Keepers of the Wild" wajib dicontoh agar gerakan rakyat ini tidak layu di tengah jalan.

Terlepas dari kerumitan teknisnya, viralnya ajakan ini adalah "tamparan keras" bagi pemangku kebijakan. Ketika rakyat bersedia merogoh kocek pribadi untuk tugas negara, itu adalah sinyal darurat bahwa kepercayaan publik terhadap tata kelola lingkungan hidup sedang berada di titik nadir.