Anomali Indofood (INDF): Profit Meledak, Margin Inti Kena Tekan
- Emiten konsumer Indofood (INDF) bukukan laba Rp8,1 triliun pada semester I-2025, tapi margin inti tertekan. Apakah saham ini masih enak disantap?

Alvin Bagaskara
Author


Ilustrasi Indofood Tower di Sudirman, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
(TrenAsia)JAKARTA, TRENASIA.ID – Emiten raksasa konsumer, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), telah merilis rapor kinerja semester I-2025 yang menyajikan sebuah anomali menarik. Laba bersih perusahaan tercatat melesat 38,7% secara tahunan menjadi Rp8,1 triliun, sebuah angka yang sangat fantastis.
Namun yang mengejutkan, lonjakan laba ini ternyata bukan didorong oleh kinerja operasional bisnis utamanya. Laba usaha INDF justru tercatat sedikit menurun, menunjukkan adanya tekanan pada margin keuntungan dari penjualan produk-produknya yang sudah sangat dikenal.
Fenomena ini tentu membuat investor bertanya-tanya: jika bukan dari jualan, dari mana sumber cuan jumbo Indofood kali ini? Mari kita bedah tuntas lima poin penting dari laporan keuangan emiten blue chip ini.
1. Pendapatan Tetap Tumbuh Solid
Kabar baik pertama datang dari sisi pendapatan. Secara total, pendapatan INDF masih berhasil tumbuh sehat sebesar 4,4% menjadi Rp59,84 triliun pada paruh pertama tahun ini, menunjukkan produk-produknya masih sangat diminati oleh pasar.
Bintang utama pertumbuhan pendapatan kali ini adalah segmen agribisnis, yang penjualannya meroket 33,44% berkat kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO). Namun, segmen Bogasari justru tercatat turun tipis, sementara segmen produk konsumen (termasuk Indomie) melambat pasca Lebaran.
Research Analyst Phintacro Sekuritas, Muhammad Heru Mustofa mengatakan bahwa perlambatan di segmen produk konsumen ini dinilai wajar. “Hal ini sejalan dengan normalisasi tingkat konsumsi masyarakat setelah periode musiman Ramadhan dan Idul Fitri, dan diperkirakan akan kembali pulih menjelang akhir tahun nanti,” tulisnya dalam risetnya pada Kamis, 21 Agustus 2025.
2. Laba Usaha Tertekan Beban Operasional
Di sinilah letak anomali pertamanya. Meskipun pendapatannya naik, laba usaha Indofood justru tercatat turun tipis -0.5% menjadi Rp11,69 triliun. Ini menandakan adanya tekanan pada profitabilitas dari bisnis inti perusahaan.
Biang kerok utama dari penurunan laba usaha ini adalah kenaikan beban operasional, terutama beban penjualan dan distribusi yang naik 3,55%. Selain itu, pendapatan lain-lain juga tercatat turun 23% dari periode sebelumnya.
Tekanan juga datang dari kerugian atas perubahan nilai wajar aset biologis di anak usahanya, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Kombinasi inilah yang membuat laba dari aktivitas bisnis utama perusahaan sedikit tergerus.
3. Rahasia Laba Meledak: Berkah dari Selisih Kurs!
Lalu, jika laba usahanya turun, kenapa laba bersihnya bisa meledak hingga 38,7%? Jawabannya terletak pada pos non-operasional, yaitu beban keuangan. Pada periode ini, Indofood berhasil menekan pos ini secara drastis.
Penyebab utamanya adalah penurunan kerugian atas selisih nilai tukar mata uang asing yang sangat signifikan. Kerugian dari pos ini menyusut dari yang semula mencapai Rp3,09 triliun menjadi hanya Rp231 miliar saja.
Inilah rahasia di balik lonjakan laba bersih Indofood. Keuntungan besar kali ini lebih banyak disumbang oleh faktor non-operasional atau berkah dari kurs, bukan dari peningkatan profitabilitas penjualan produk-produknya secara langsung.
4. Proyeksi Kinerja ke Depan
Melihat ke depan, Heru memperkirakan bahwa laba bersih emiten konsumer milik Salim Group ini berpotensi tumbuh 14,4% menjadi Rp14,96 triliun untuk setahun penuh 2025. Proyeksi ini didasarkan pada beberapa asumsi kunci.
Selain itu, perkiraan nilai tukar Rupiah yang lebih stabil terhadap Dolar AS juga berpotensi terus menekan beban keuangan. Langkah strategis seperti inovasi produk dan perluasan distribusi juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ke depan.
“Perkiraan ini didasarkan pada kinerja operasional yang relatif stabil dan perkiraan nilai tukar rupiah yang stabil terhadap US$ sehingga berpotensi menurunkan beban keuangan,” jelas Heru.
5. Rekomendasi Saham: 'Buy' dengan Target Harga Baru
Meskipun ada tekanan di sisi operasional, analis Phintraco Sekuritas tetap memberikan pandangan yang sangat optimistis terhadap prospek saham INDF. Mereka mempertahankan rekomendasi "Beli" dengan target harga yang bahkan direvisi naik.
Phintraco kini mematok target harga baru untuk INDF di level Rp9.650 per saham, dari sebelumnya Rp9.000. Target ini didasarkan pada perhitungan menggunakan metode Discounted Cash Flow yang mempertimbangkan berbagai faktor fundamental perusahaan.
Optimisme ini didasari oleh ekspektasi kinerja operasional yang akan tetap stabil dan beban keuangan yang lebih terkendali. Hal ini memberikan ruang kenaikan yang masih menarik bagi para investor yang ingin masuk ke saham ini.

Alvin Bagaskara
Editor
