Ahmad’s Fried Chicken, Ketika Boikot jadi Berkah Ayam Goreng Lokal Malaysia
- Ahmad’s Fried Chicken sukses membuka 67 gerai di Malaysia dengan memanfaatkan momentum boikot produk asing. Kehadirannya menjadi bukti nyata bahwa solidaritas sosial mampu mendorong pengusaha lokal untuk bersaing di industri cepat saji dan memperkuat ekonomi domestik.

Maharani Dwi Puspita Sari
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Di tengah isu terkait genosida dan boikot terhadap produk pro Israel, Malaysia menghadirkan produk lokal yang diklaim aman serta berhasil membuka banyak cabang di wilayahnya. Produk ini dikenal dengan nama Ahmad’s Fried Chicken yang sudah ada sejak tahun 2020.
Munculnya Ahmad’s Fried Chicken di Malaysia tidak hanya dibaca sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Gaza, tetapi juga mencerminkan bagaimana isu global dapat memicu lahirnya peluang bisnis lokal di tengah perubahan perilaku konsumen.
Di saat sebagian masyarakat Malaysia memilih mengurangi konsumsi merek makanan cepat saji asing, ruang bagi pengusaha lokal justru terbuka lebar. Ahmad’s Fried Chicken didirikan oleh pengusaha lokal Malaysia, yaitu Taufik Khoiruddin dan Lailatul Sarahjanna.
Produk ini sebagai alternatif ayam goreng cepat saji yang diproduksi dan dikelola sepenuhnya oleh pelaku usaha dalam negeri. Kehadiran merek ini berhasil mendapatkan perhatian luas karena muncul di tengah meningkatnya seruan boikot terhadap produk yang dianggap terafiliasi dengan Israel, seiring eskalasi konflik dan krisis kemanusiaan di Gaza.
Namun di luar konteks solidaritas, perkembangan Ahmad’s Fried Chicken menunjukkan dinamika ekonomi yang menarik. Pergeseran preferensi konsumen dari merek global ke produk lokal menciptakan peluang nyata bagi UMKM dan pengusaha domestik untuk masuk ke sektor yang selama ini didominasi pemain internasional.
Konsumen tidak hanya mempertimbangkan rasa dan harga, tetapi juga nilai di balik produk yang mereka beli. Melansir dari laman ahmads.com, Sabtu 20 Desember 2025, dalam waktu 5 tahun Ahmad’s Fried Chicken mampu memperluas jangkauan usahanya dengan membuka 67 gerai di Malaysia.
Pertumbuhan ini menandakan bahwa pasar makanan cepat saji lokal memiliki potensi besar ketika didukung sentimen konsumen dan kemampuan pelaku usaha membaca momentum.

Berdasarkan penelitian berjudul “Boikot Konsumen Muslim Indonesia terhadap Merek Global: Kajian Faktor Emosi, Religiositas, dan Isu Geopolitik” yang dipublikasikan melalui advancesinresearch.id, boikot yang dilakukan konsumen merupakan bentuk resistensi kolektif.
Aksi ini dipicu oleh emosi moral seperti kemarahan dan empati, diperkuat oleh nilai religiositas, serta dipengaruhi kepekaan terhadap isu geopolitik, khususnya konflik Palestina.
Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi dan membentuk motivasi ideologis yang mendorong penolakan terhadap merek global yang diasosiasikan dengan ketidakadilan atau penindasan.
Temuan studi tersebut menjadi salah satu rujukan bagi merek global untuk meningkatkan sensitivitas sosial, memperkuat etika bisnis, serta menyusun strategi komunikasi yang lebih relevan dalam menghadapi pasar Muslim di tengah dinamika geopolitik global.
Berdasarkan temuan tersebut, pengamat pemasaran dan konsultan bisnis Yuswohady menilai dampak boikot terhadap merek global sangat signifikan. Ia mengibaratkan merek sebagai entitas rapuh.
“Brand-brand global yang selama ini telah menjadi household brand kini mengalami guncangan serius akibat aksi boikot. Elemen brand equity seperti brand association, persepsi kualitas, identitas merek, reputasi, hingga loyalitas pelanggan mengalami penurunan tajam,” ujar Yuswohady.
Menurutnya, dampak tersebut semakin diperparah oleh konflik Israel–Palestina yang terus berlanjut. Setiap eskalasi kekerasan di Gaza kembali memicu ingatan kolektif konsumen untuk mempertahankan boikot, sehingga tekanan terhadap merek global kian berkelanjutan.
Fenomena boikot terhadap merek global yang dipicu isu geopolitik tidak hanya berdampak pada penurunan kinerja dan citra merek internasional, tetapi juga mendorong pergeseran struktur pasar di sektor konsumsi.
Inovasi Ahmad’s Fried Chicken di Malaysia menjadi perubahan preferensi konsumen dapat menciptakan peluang pertumbuhan nyata bagi pelaku usaha lokal, terutama ketika produk mampu menjawab kebutuhan pasar dari sisi nilai, identitas, dan kepercayaan.
Dalam konteks ini, dinamika geopolitik berperan sebagai faktor eksternal yang memengaruhi perilaku ekonomi, sekaligus membuka ruang bagi penguatan merek domestik di tengah melemahnya dominasi industri global.

Chrisna Chanis Cara
Editor
