Saga TPI: Pertarungan Lawas Hary Tanoe Sebelum Badai Gugatan Rp119 Triliun
- Mengupas tuntas kronologi sengketa TPI antara Hary Tanoesoedibjo dan Mbak Tutut. Dari krisis utang, perang RUPS 2005, hingga menjadi MNCTV.

Alvin Bagaskara
Author


JAKARTA, TRENASIA.ID – Konglomerat media Hary Tanoesoedibjo kini menghadapi badai hukum terbesar dalam karier bisnisnya. Gugatan perdata bernilai fantastis Rp119 triliun telah dilayangkan oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), perusahaan jalan tol yang dikendalikan oleh pengusaha Jusuf Hamka.
Namun, sebelum kasus ini mencuat, bos media ini telah lebih dulu teruji dalam sengketa korporasi legendaris. Yakni perang perebutan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) melawan putri Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, yang juga dikenal dengan panggilan akrabnya, Mbak Tutut.
Sengketa TPI adalah drama bisnis dan hukum yang membentuk reputasi Hary Tanoe sebagai pemain korporasi tangguh. Kisah ini tentang bagaimana sebuah stasiun televisi dengan misi edukasi akhirnya jatuh ke dalam krisis keuangan yang sangat parah dan juga berkepanjangan.
Upaya penyelamatannya justru memicu perseteruan puluhan tahun yang melibatkan manuver bisnis tingkat tinggi. Sengketa ini juga diwarnai putusan pengadilan yang saling bertentangan, hingga sebuah transformasi total yang pada akhirnya berhasil mengakhiri segalanya dan menjadi babak penutupnya.
Akar Masalah: Dari Misi Pendidikan ke Jurang Kebangkrutan
Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) lahir pada 23 Januari 1991 dengan sebuah idealisme mulia. Didirikan oleh Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut/Putri Soeharto), stasiun ini awalnya bertujuan sebagai media edukasi untuk seluruh bangsa, bekerja sama erat dengan departemen pendidikan dan juga kebudayaan.
Namun, tekanan industri memaksa TPI untuk bergeser menjadi stasiun hiburan demi bertahan. Secara bertahap stasiun televisi ini menjadi populer dengan program-program kuis, sinetron, dan akhirnya dikenal luas oleh masyarakat sebagai televisi dangdut di era pertengahan tahun 1990-an.
Perubahan fokus ini, ditambah dampak krisis moneter 1998, membuat kondisi keuangan TPI goyah. Pada tahun 2002, perusahaan berada di ambang kolaps, terlilit utang yang dilaporkan mencapai lebih dari Rp1,6 triliun. Dalam kondisi inilah pintu terbuka bagi investor baru.
Hary Tanoesoedibjo pun masuk melalui perusahaannya, PT Berkah Karya Bersama (BKB). Sebuah perjanjian investasi ditandatangani pada 23 Agustus 2002. Kesepakatannya jelas: BKB akan mengambil alih tanggung jawab restrukturisasi utang TPI dan sebagai imbalannya berhak mendapatkan 75% kepemilikan saham.
Untuk memuluskan proses penyelamatan dan restrukturisasi perusahaan tersebut, Mbak Tutut memberikan surat kuasa penuh kepada Hary Tanoe pada 3 Juni 2003 untuk mengelola perusahaan. Namun, hubungan keduanya di kemudian hari ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan awal.
Puncak Perseteruan: "Perang RUPS" Maret 2005
Hubungan yang awalnya simbiosis mutualisme itu mulai retak dan memburuk. Kubu Mbak Tutut merasa Hary Tanoe telah bertindak melampaui kewenangan yang diberikan dan tidak memenuhi semua kewajiban. Puncaknya, pada 16 Maret 2005, Mbak Tutut secara resmi mencabut surat kuasa.
Langkah ini menjadi pemantik "perang terbuka" yang terjadi hanya dalam dua hari. Pada 17 Maret 2005, kubu Mbak Tutut bergerak cepat dengan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) versinya sendiri untuk merombak total manajemen yang ditempatkan Hary Tanoe.
Namun, kubu Hary Tanoe membalas dengan manuver yang lebih menentukan. Sehari setelahnya, pada 18 Maret 2005, mereka menggelar RUPSLB tandingan. Berbekal perjanjian investasi awal, RUPSLB ini mengukuhkan kepemilikan 75% saham untuk BKB sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Yang terpenting, hasil RUPSLB versi Hary Tanoe inilah yang berhasil didaftarkan dan disahkan oleh Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kemenkumham. Keputusan ini memberikannya legitimasi hukum untuk menguasai perusahaan, membuat kendali TPI secara de jure dan de facto beralih.
Satu Dekade di Meja Hijau yang Penuh Kebingungan
Kekalahan dalam perebutan kendali fisik membuat kubu Mbak Tutut menempuh jalur hukum. Inilah awal dari saga peradilan yang berjalan hampir satu dekade. Prosesnya sangat rumit, melibatkan berbagai lembaga dengan putusan yang saling bertentangan dan seringkali membingungkan publik yang mengikutinya.
Kubu Hary Tanoe membawa sengketa ini ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan memenangkan perkara tersebut. Di sisi lain, kubu Mbak Tutut terus berjuang di pengadilan umum. Perjuangan mereka seolah membuahkan hasil pada 10 Oktober 2013, sebuah tanggal yang penting.
Pada tanggal tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi mereka, yang pada intinya menyatakan kepemilikan Mbak Tutut atas TPI adalah sah. Putusan MA ini sekaligus juga membatalkan RUPSLB versi Hary Tanoe yang telah digelar beberapa tahun sebelumnya pada Maret 2005.
Langkah Pamungkas: Transformasi dan Kemenangan De Facto
Kemenangan di tingkat Mahkamah Agung ternyata menjadi kemenangan di atas kertas yang tak berarti. Saat proses hukum berjalan, Hary Tanoe telah melakukan langkah strategis yang mengunci kemenangannya di lapangan. Ia melakukan perubahan total yang fundamental pada stasiun televisi tersebut.
Pada 20 Oktober 2010, ia secara resmi mengubah nama, logo, dan seluruh citra merek TPI menjadi MNCTV. Perubahan ini bukan sekadar kosmetik. Seluruh aset, program, dan operasional stasiun telah diintegrasikan secara total ke dalam ekosistem besar milik MNC Group.
Entitas bernama TPI secara efektif telah lenyap, digantikan oleh MNCTV yang baru. Akibatnya, putusan MA yang memenangkan Mbak Tutut atas kepemilikan "TPI" menjadi sulit, bahkan mustahil untuk dieksekusi. Kendali fisik Hary Tanoe terbukti lebih kuat daripada putusan hukum.
Saga TPI menjadi studi kasus abadi tentang bagaimana kemenangan de facto di lapangan dapat menjadi penentu akhir dari sebuah sengketa korporasi. Pertarungan inilah yang menempa Hary Tanoesoedibjo, jauh sebelum ia harus menghadapi gugatan triliunan rupiah yang kini menantinya.

Alvin Bagaskara
Editor
